•••
Dokter menyemprotkan sebuah cairan bening pada bibir bawah Jisung. Yang sejurus kemudian membuatnya meringis kencang karena rasanya yang luar biasa perih. Itu cairan antiseptik. Supaya tidak terjadi infeksi.
Mama menggigiti kukunya. Dia menyalahkan dirinya sendiri karena seharusnya malam ini dia menjaga Jisung. Kakaknya juga sama, dia berfikir tidak seharusnya meninggalkan Jisung sendirian demi mengambil beberapa lembar pakaian. Semua orang menyalahkan dirinya masing-masing karena kejadian ini.
"Sung," panggil kakaknya.
Dokter menengok ke belakang, menatap kakak Jisung lalu menyimpan jari telunjuk di depan mulutnya. Mengisyaratkan supaya jangan dulu mengajak Jisung berbicara. Dia butuh waktu untuk sendirian. Butuh waktu untuk merenung.
Ditinggal oleh seseorang yang begitu dekat itu lebih sekedar sakit..
Jisung, dia terus melamun sejak tadi. Pandangannya tidak pernah beralih. Mulutnya tak mengeluarkan sepatah kata-pun. Dia stres berat. Lebih tepatnya terlampau terkejut dan dalam benaknya masih muncul pertanyaan, ini nyata atau tidak?
Lalu seminggu setelahnya, keadaan Jisung tetap sama.
Member berkali-kali menjenguk Jisung dan mengajaknya untuk mengobrol. Namun hasilnya nihil. Dia tidak pernah mau berbicara pada siapapun. Manager juga ikut stres. Seburuk itu ditinggal Hyunjin sehingga satu bulan setelahnya musibah seakan tidak berhenti menghampiri.
Bagaimana nasib Stray Kids kedepannya jika terus seperti ini?
Dokter kebingungan. Jika Jisung sulit diajak komunikasi, dia juga tidak bisa ikut terapi berjalan. Dan masa penyembuhannya akan semakin lamban. Dokter memikirkan banyak cara. Beberapa psikolog akhirnya didatangkan. Dan tetap tidak membantu.
Akhirnya, dokter memberi Jisung sebuah buku dan pena. Dokter menyuruh Jisung untuk menulis apapun disana, jika dia merasa sulit atau canggung untuk berbicara. Jisung bisa berkomunikasi melalui itu sekarang. Dokter juga bisa memahami Jisung lewat sana.
Malam hari, ketika Kakaknya yang berjaga sudah tertidur, Jisung sengaja bangun dan mengambil buku beserta pena yang diberikan oleh dokter beberapa jam sebelumnya.
Dia menangis. Dia menulis dan tiap satu kata berhasil ditulis, satu air mata ikut menetes. Bukunya dibuat begitu basah. Namun Jisung terus menulis. Dia memang suka menulis. Sudah lama juga tidak menulis lirik untuk lagu.
Bibirnya gemetaran. Dia ingin berteriak, tapi suaranya seakan tak ingin keluar. Ada yang menekan dadanya dengan kuat. Ada yang berkeliaran dalam otaknya; kebingungan. Juga, rasa kehilangan yang belum mau hilang.
Tulisannya sulit untuk dibaca. Pertama karena tangannya yang lemah, kedua karena semua kalimat yang tertulis selalu terkena tetesan air mata, membuat tulisannya buyar. Orang lain harus berusaha lebih ekstra untuk membaca tulisannya.
"Hu-huang," gelagapnya sambil meremas pena. "Hyun, kapan jenguk gue?" Racaunya pelan.
Dia kembali menangis karena ulahnya sendiri. Logikanya selalu saja memaksa Jisung untuk terus mengingat Hyunjin. Hatinya tidak memberi waktu bagi Jisung untuk menarik nafas dalam; menenangkan diri.
Jisung tersiksa karena dunianya sendiri, karena Hyunjin adalah separuh dari seluruh. Karena Hyunjin adalah luka yang manis, takkan pernah bisa sembuh. Karena Hyunjin adalah pencipta senyuman yang abadi; sekaligus pencipta luka abadi. Karena Hyunjin begitu istimewa.
***
"Hyun, lo liat kacamata gue, nggak? Ah, lo pasti liat, kan."
Jisung mengibaskan selimutnya untuk mencari keberadaan kacamata miliknya yang selalu saja tiba-tiba menghilang. Dia melihat ke bawah ranjang, dia membuka semua laci-bahkan yang bukan miliknya. Dia mengecek semua ruangan di dorm dan hasilnya nihil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Grow Up [ ✓ ]
Fanfiction[ Telah dibukukan. ] ❝You did well, Hyunjin-ah...❞ Sepanjang Hyunjin melewati mereka, dia dihormati. Dia dihargai atas perjuangannya selama ini. Dia akan dikenang dunia sebagai si kuat Hwang Hyunjin. Dia akan dijadikan lambang semangat mulai tahun i...