♡Izin mencintai♡

922 43 0
                                    

Sudah beberapa kali aku terluka, bahkan terbesit ingin menyerah. Namun, sikap hangatmu kepadaku seolah mengobarkan harapanku untuk memilikimu.

-SEGENGGAM HARAPAN-


Awal pagi dengan semburat senyuman sangat terpahat jelas di wajah cantik Tania. Gadis itu melihat sekeliling kamar yang asing untuknya, semalaman ia di kamar ini. Bukan kamar Angga, tapi kamar Fikar yang dulu. Ya, Tania lebih memilih menginap di rumah Andre di bandingkan harus tinggal di rumah Angga yang mungkin sangat asing untuk Tania. Sementara untuk soal Fikar, sudah diberitahu kalau Tania akan tidur di rumah Andre--omnya.

Gadis itu meraba kepalanya yang masih dibalut perban, ada sedikit rasa pusing mendera. Namun, Tania masih bisa menahannya. Pupil matanya yang tengah menelisik sepenjuru kamar tiba-tiba terkunci di sebuah jendela yang menampakan langsung rumah Angga. Tania tersenyum tanpa sadar.

"Tania, kamu sudah bangun? Ayo kita sarapan bersama." Suara dari arah belakang, pantas membuat Tania menoleh. Ia tersenyum ketika mendapati Hilya, tantenya. Wajah perempuan paruh baya itu mengingatkan Tania pada foto ibunya.

"Iya, Tan. Nanti Tania ke bawah."

"Baiklah, jangan lama-lama ya. Bang Fikar akan gabung sarapan loh."

"Siap, Tante."

Hilya memberikan usapan lembut di kelapa gadis itu, lalu melangkah keluar kamar dan menutup kembali pintunya.

"Tania merasa Ibu ada dalam diri Tante Hilya," gumam gadis itu, dengan tatapan yang masih terarah pada pintu kamar yang sudah tertutup rapat.

Sejuru kemudian, Tania bangkit untuk mencuci wajahnya. Setelah itu ia mengikat rambut dengan asal. Tatapan gadis itu tiba-tiba tertarik lagi pada jendela, kini langkahnya mendekat dan tangannya menyibak gorden tipis itu. Terlihat jelas rumah Angga yang megah itu.

"Bisakah aku menapaki rumah itu dengan sambutan cintamu?" Tanya Tania sekali lagi dengan gumaman. Gadis itu tersenyum kembali, lalu menutup gorden tipis itu.

____•°•____

"Bagaimana keadaanmu, Tania? Sudah membaik?" Suara berat Andre memecah keheningan di sela-sela kegiatan makan.

"Cuma sedikit pusing saja, Om."

"Syukurlah. Kalian berdua jangan dulu pulang, nikmati libur sekolah kalian di sini saja. Kalau ada apa-apa ada tante Hilya yang akan bantu." Andre berucap lagi seraya menyuap pancake ke dalam mulutnya.

"Iya, kalian di sini saja dulu. Supaya rumah tidak terlalu sepi," sahut Hilya.

"Fikar harus mengecek keuangan di cafe nanti siang, Om, Tan," jawab Fikar. Dan kini tatapan Hilya, Andre mengarah ke Tania.

"Iya, Tania bakal di sini ko. Lagian Tania ingin menemani Joy main." Gadis itu melirik ke arah Joy, anak laki-laki dari keluarga Andre. Joy merupakan anak laki-laki lima tahun yang kalo bicara sangat jujur sekali, bahkan tidak bisa harus di suruh berkata bohong. Anak baik, memang.

"Halah, bilang aja mau ketemu tetangga sebelah kan?" Celukutuk Fikar lantas membuat Tania melotot tajam.

"Putranya Rahaji maksudnya? Wah Tania pintar juga memilih." Andre ikut menggoda Tania. Sehingga di sinilah Tania merasa terpojokan.

"Ish, punya Abang kaya ember bocor," sindir Tania.

Sementara yang hanya terkekeh ringan, termasuk Fikar. Ada yang lucu? Tania rasa tidak. Dilanjutlah kegiatan makan Tania dengan segenap mood yang masih tersisa.

Segenggam Harapan(END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang