"Profesor Xu?"
Minghao sedang melamun di ruangannya saat suara seorang pemuda memanggilnya.
"Eh? Samuel? Ada apa?"
Pemuda yang dipanggil Samuel yang merupakan mahasiswanya itu pun menyodorkan setumpuk kertas pada Minghao.
"Ini tugas anak-anak yang memang seharusnya dikumpulkan hari ini."
"Baiklah, taruh saja di meja, aku akan mengoreksinya nanti," jawab Minghao.
Samuel hendak pergi, namun melihat gelagat aneh dari sang dosen yang biasanya ceria ini membuatnya urung. Biasanya Minghao akan bertanya ini itu dan mengajak Samuel mengobrol walau hanya sekadar basa basi. Maklum, mereka dekat karena sejak menempuh pendidikan S1 sampai sekarang sedang melanjutkan S2, Samuel selalu dibimbing Minghao. Terlebih Samuel ini berasal dari Korea dan Minghao juga bisa berbicara bahasa korea, jadi bisa dibilang mereka nyambung. Namun, Minghao kali ini diam dan tampak murung tidak seperti biasanya membuat pemuda yang lima tahun lebih muda itu khawatir.
"Prof, anda baik-baik saja?" tanya Samuel.
"Ah? Aku? Aku baik-baik saja kok," jawab Minghao dengan tatapan yang entah mengarah kemana, tidak fokus.
"Benarkah? Anda tidak seceria biasanya, prof. Apa Anda sakit?"
Minghao menggeleng, "kemarin memang iya, tapi dokterku bilang aku akan baik-baik saja kalau tidak lupa minum obat."
Samuel tersenyum kecut. Ia juga tahu soal penyakit yang diderita Minghao akhir-akhir ini.
"Jangan khawatirkan aku, aku baik-baik saja sungguh. Khawatirkan tesismu. Kau bilang ingin cepat menyelesaikannya bukan? Kau bahkan belum membuat janji bimbingan denganku atau dosen lain?"
"Ehehe," Samuel tersenyum canggung sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Akhirnya, Samuel memutuskan untuk pamit dan meninggalkan Minghao sendirian di ruangannya. Mungkin sang profesor hanya butuh waktu sendiri, begitu pikirnya.
"Aish! Kemana pula hilangnya bagian-bagian itu!" decak Minghao sembari mengacak rambut pendek yang baru saja diganti warnanya menjadi cokelat terang itu.
Setelah berkata begitu, Minghao bangkit dari duduknya. Ia lalu mengambil sebuah buku dari lemari buku besar yang ada di belakang mejanya. Sebuah buku bersampul ungu. Buku yang sama dengan buku yang ia bawa ke rumah sakit kemarin.
"Hao?"
Lagi, sebuah suara mengejutkannya. Suara yang berat namun terdengar lembut dan manis. Ia hafal betul suara siapa itu.
"Junhui gege?"
Tanpa dipersilahkan, seorang pemuda masuk dan langsung meletakkan bokongnya di kursi yang ada di hadapan meja kerja Minghao.
"Oh, astaga, kertas-kertas apa ini? Banyak sekali. Huh, padahal tadinya aku ingin mengajakmu makan siang di luar, tapi kau pasti akan sibuk dengan ini bukan?" berondong Junhui sembari melihat-lihat tumpukan kertas yang diberikan Samuel barusan.
"Itu tugas mahasiswaku," jawab Minghao tanpa mengalihkan atensinya dari buku yang sedari tadi hanya ia pandangi sampulnya.
"Tapi aku tidak akan mengoreksinya sekarang juga. Mau mengajakku makan siang dimana?" sambungnya.
"Ada restoran korea yang baru buka di dekat rumahku. Aku penasaran makanan korea itu seperti apa. Kau pernah tinggal lama di sana kan? Mungkin kau bisa menunjukkan padaku makanan korea apa saja yang enak," jawab Junhui.
Korea. Mendengar nama negara itu disebutkan, atensi Minghao segera beralih pada orang yang menyebutkannya. Ya, Korea, Seoul, ada sebuah kenangan tak terlupakan bagi gadis yang menyandang gelar profesor di usia mudanya ini.
"Ayo!" tegas gadis itu setelah agak lama berpikir.
***
Kini, sepasang manusia yang hanya terpaut usia satu tahun itu sedang ada di dalam mobil Junhui. Tentu saja dengan posisi Junhui di balik kemudi dan Minghao di sampingnya. Selama perjalanan hanya ada hening. Biasanya, Minghao akan sangat cerewet untuk membahas apapun yang menurutnya menarik, pun dengan Junhui. Tapi kali ini Minghao hanya diam sambil menatap buku bersampul ungu yang entah sejak kapan selalu ia bawa kemana-mana.
"Eum... Hao? Buku itu... Apakah itu buku diary atau semacamnya? Kau selalu membawanya kemanapun kau pergi," kata Junhui membuka suara.
"Ya, kurang lebih. Tapi aku menulis semua bagiannya sekaligus di hari yang sama, bukan seperti buku diary kebanyakan yang ditulis setiap hari selama jangka waktu tertentu sampai terkumpul banyak," jelas gadis itu.
Junhui hanya mengangguk-angguk.
"Kisahnya lumayan menarik." komentar Junhui kemudian.
"Gege sungguh membaca semuanya?" tanya Minghao.
Junhui mengangguk. Sementara Minghao terkekeh.
"Percaya tidak percaya, itu kisah nyata, ge. Di Seoul, saat aku kuliah di sana dulu sekali. Itu hanya kisah percintaan biasa, tapi lucunya aku tidak bisa melupakannya sampai sekarang," tutur gadis itu dengan tawa hambar di ujung.
"Cinta pertama ya? Itu wajar Hao, yang pertama memang sulit dilupakan," kata Junhui sembari mengeratkan pegangannya pada setir.
"Sebenarnya aku hampir melupakannya. Tapi aku tak sengaja menemukan buku diary itu di gudang, lalu membacanya, dan kembali mengenang kenangan yang seharusnya sudah hilang itu," ujar Minghao sedih.
Junhui melirik Minghao sekilas. Sekarang jelas sudah alasan mengapa gadis cerewet itu tiba-tiba berubah jadi pendiam. Tapi setidaknya Minghao mau bercerita padanya, membuat Junhui sedikit lega.
"Kalau kau merasa tidak perlu mengingatnya, kenapa kau bawa buku itu kemana-mana?"
"Seharusnya begitu, tapi aku jadi semakin tidak bisa tidak ingat. Kilasan-kilasan kejadiannya selalu menghantuiku akhir-akhir ini, seperti mimpi buruk tanpa akhir."
"Lalu?"
"Kemudian aku berpikir untuk menyalurkan semuanya dalam bentuk cerita yang bisa dibaca semua orang. Aku akan mendramatisir beberapa bagian supaya kisahnya tampak semakin menarik. Ide bagus bukan?"
Junhui agak ngeri sebenarnya. Ekspresi Minghao berubah drastis saat membicarakan soal cerita. FYI, selain bekerja sebagai dosen, Minghao juga aktif sebagai penulis cerita fiksi. Dan ia memiliki ambisi yang cukup tinggi di bidang ini.
"Tapi," kata Minghao lagi tergantung.
"Entah kenapa rasanya sulit sekali untuk memulai menulis kisah itu," sambungnya.
"Kenapa?"
"Ada bagian yang hilang dan aku sama sekali tidak punya ide untuk mengisinya."
***
A/n.
Ada yang kangen cerita ini? :3 Ayo, tinggalkan komentar kalian...
KAMU SEDANG MEMBACA
Sugar Sweet Nightmare [Seventeen GS : Junhao]✔
Romance"Ge, aku bermimpi buruk semalam." "Mimpi apa?" "Di dalam mimpiku aku melihat seorang pemuda. Dia sangat tinggi dan tampan dengan balutan setelan jas putih. Sementara aku mengenakan gaun cantik dengan warna senada. Di dalam mimpi itu, kami berdansa d...