12 September
"Hao, maukah kau jadi kekasihku?"
Seharusnya, aku bilang tidak, dengan tegas pada lelaki tiang di hadapanku ini. Namun dengan bodohnya aku malah mengangguk.
"Sungguh? Yeay!"
Aku tersenyum melihat senyum terkembang lebar di wajahnya. Memamerkan sederetan gigi termasuk sebuah gigi taring yang mencuat yang menambah kesan manis pada dirinya. Manis, seperti glukosa. Setidaknya itulah yang kupikirkan saat itu. Hingga beberapa waktu kemudian aku akan tahu bahwa sebenarnya ia hanya sakarin, bukan glukosa seperti yang kupikirkan selama ini.
Oke, kembali ke cerita. Setelah berkata begitu, si manis berkulit tan itu pun menggamit tanganku, menggenggamnya erat, menimbulkan sebuah desiran aneh di bagian dalam jantungku. Inikah rasanya punya kekasih? Kupikir, tidak buruk juga.
Mungkin, agak sulit dipercaya. Kini, aku, Xu Minghao, secara resmi menjadi kekasih dari seorang pemuda bernametag Kim Mingyu. Pemuda yang tidak sengaja kutemukan di sebuah seminar wajib di kampus.
20 September.
"APA?! KAU SUDAH JADIAN DENGAN MINGYU?!"
Aku menutup telingaku rapat-rapat saat teman sekelasku, Seungkwan, berteriak. Volume suaranya bisa membuatku tuli mendadak. Aku bahkan tidak begitu peduli saat semua mata tertuju pada kami dan lebih memprioritaskan kesehatan gendang telingaku.
"Seungkwan! Bisa tidak kalau tidak pakai teriak? Aku bisa tuli tahu!" balasku.
"Hao-ya, benar apa kata Seungkwan? Kau pacaran dengan siapa tadi namanya, Mingyu? Apa dia satu jurusan dengan kita?" tanya Jisoo, yang posisi bangkunya paling dekat denganku.
"Namanya Kim Mingyu, jurusan Arkeologi, dia teman sekelasku saat SMA dulu," jawab Jeonghan, biang kerusuhan yang tiba-tiba berbisik pada Seungkwan soal aku dan Mingyu.
Aku hanya bisa menatap datar gadis itu, sebelum menyahut, "tahu darimana kau? Mingyu memberitahumu?"
"Tidak. Aku iseng melihat pesan status di kontaknya, di situ tertulis namamu dengan emoticon hati," jawabnya.
"Dan jangan lupa, di pesan statusmu juga tertulis 'Mr. Kim' dengan emoticon hati juga," timpal Seungkwan.
Aku menghela napas, pasrah. Oke, sedari awal memang aku tidak berniat menyembunyikan hubunganku juga sih. Tapi entah kenapa, aku merasa malu. Aku yakin wajahku sudah semerah kepiting rebus saat itu.
"Oke, aku mengaku. Lalu apa setelah ini? Pajak jadian?"
"Tentu saja!" sahut Seungkwan semangat.
"Kalau tidak ada pajak jadian nanti cepat putus loh!" kata Jihoon dengan nada mengancam.
Aku memutar bola mataku malas. Ada ada saja Jihoon ini.
"Huh, baiklah, kalian mau makan apa? Hati sapi sisa percobaan enzim katalase masih ada bukan? Aku bisa memasakkannya untuk kalian. Atau ulat sutra yang sudah jadi kepompong...
"MINGHAO!"
"Ehehe. Kiriman dari orangtuaku di Anshan belum sampai. Kita makan ramyeon di flatku saja ya?"
"Apapun itu yang penting makanan! Ayo!"
22 September.
Kelas sudah selesai, tapi aku masih berkutat dengan catatanku yang belum selesai. Oke, tinggal beberapa huruf lagi dan..."Pssst, Hao, dicari pacarmu tuh," bisik Jisoo sembari menyikut pingganggu.
Sontak aku menoleh padanya, lalu melirik ke arah pintu kelas yang terbuka. Di sana berdiri sesosok Mingyu yang tingginya melebihi pintu yang disandarinya. Dia tersenyum, memamerkan gigi taring yang menjadi daya tariknya.
Entah bagaimana semangatku meningkat drastis hanya dengan senyuman itu. Buru-buru keselesaikan catatanku dan mengemas barang-barangku sebelum berlari keluar dari kelasku.
"Soo, aku duluan ya?"
"Ya. Hati-hati."
Aku mengangguk, kemudian menyusul Mingyu yang entah sejak kapan sudah menungguku.
"Ayo!"
Tanpa menjawab, Mingyu pun menggenggam erat tanganku. Lalu kami berjalan beriringan di sepanjang koridor fakultas Matematika dan Sains. Kami berjalan sembari sesekali melontarkan lelucon dan tertawa bersama. Begitu sederhana, tapi aku bahagia. Hingga tak terasa tahu-tahu kami sudah tiba di parkiran. Di sinilah kami harus berpisah. Kenapa? Karena kami membawa kendaraan masing-masing dan jalan pulang kami berlawanan arah.
"Hao, kenapa sih kau selalu membawa sepeda? Aku kan ingin mengantarmu pulang sekali-sekali," kata Mingyu saat aku mengeluarkan sepedaku dari barisan sepeda yang tertata rapi di tempat parkir khusus sepeda.
"Karena bersepeda itu lebih sehat," jawabku apa adanya.
Mingyu menekuk bibirnya lucu. Astaga, menggemaskan sekali.
"Baiklah, kapan-kapan aku akan berangkat naik bus saja supaya kau bisa mengantarku saat pulang, bagaimana?" tawarku.
Mingyu mengangguk tapi masih dengan bibir ditekuk. Aku yang gemas pun akhirnya mencubit pipinya.
"Daah, aku duluan ya? Hati-hati dijalan, jangan ngebut naik motornya ya?"
23 September.
Kalau kemarin Mingyu yang menunggu di depan kelasku, maka kini gantian aku yang menunggunya di depan kelasnya. Tapi aku terlalu malu untuk sekadar menyembulkan kepala di pintu seperti Mingyu kemarin. Jadi aku hanya menunggunya keluar dari kelas dengan sendirinya.
Lima menit aku menunggu, lalu pintu kelas itu pun terbuka. Seorang gadis muncul dari balik pintu. Ia menatapku sebentar lalu langsung menghampiriku.
"Mencari seseorang, nona?" tanyanya ramah.
"Y-ya. Kim Mingyu, lebih tepatnya aku menunggunya sih bukan mencarinya," jawabku.
Gadis itu memicingkan matanya, sebelum berseru, "Ah, aku tahu kau. Kau pacarnya Mingyu ya?"
Aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal dan mengangguk kikuk.
"Ah, kau lebih cantik saat dilihat dari dekat rupanya. Siapa namamu?"
"Xu Minghao. Dan kau?"
"Aku Chou Tzuyu. Senang berkenalan denganmu."
"Eh? Chou Tzuyu? Ni men Zhonguo ren?*"
"Meiyou** Aku dari Taiwan. Tapi bahasa kita sama kan?"
Aku hanya mengangguk. Sampai Mingyu keluar dari kelasnya dan menghampiri kami.
"Ah, Tzuyu, kau sudah berkenalan dengan Haoku?"
"Dia sangat manis bukan?" kata Mingyu lagi sembari merangkulku. Uh, pipiku rasanya memanas saat Mingyu mengatakan itu dengan jelas pada salah satu temannya.
Tzuyu tersenyum sebelum menjawab, "ya, dia manis. Kalian benar-benar pasangan serasi."
Mingyu tersenyum bangga. Sementara aku menunduk dengan pipi yang memanas. Lalu Tzuyu... Entah kenapa aku menangkap gelagat aneh dari tatapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sugar Sweet Nightmare [Seventeen GS : Junhao]✔
Romansa"Ge, aku bermimpi buruk semalam." "Mimpi apa?" "Di dalam mimpiku aku melihat seorang pemuda. Dia sangat tinggi dan tampan dengan balutan setelan jas putih. Sementara aku mengenakan gaun cantik dengan warna senada. Di dalam mimpi itu, kami berdansa d...