Five.

3.5K 422 10
                                    

05

Lisa menarik nafas, membuangnya dengan perlahan. Menyiapkan hatinya untuk bisa menceritakan apa masalahnya.

"Jika kau ragu, kau tidak usah menceritakannya" Chaeyoung memegang tangan lisa. Lisa reflek melihat ke arah tangannya sendiri yang di atasnya ada tangan Chaeyoung. Terasa hangat.

Melihat Lisa sedang melihat ke arah tangannya, Chaeyoung menarik kembali tangannya. Ia lakukan karna takut Lisa tidak menyukainya.

*Flashback On.

*Lisa pov

Menjadi seorang anak yang berada, yang bisa dibilang berkecukupan atau lebih membuat ia menjadi senang.

Tentu saja, tidak usah susah payah menunggu beberapa hari, beberapa minggu atau bahkan bulan untuk keinginannya terkabul.

Tidak usah menyisihkan setiap uang jajannya untuk membeli barang yang dia butuhkan. Belum lagi keinginannya.

Menyenangkan. Semua terasa instan. Tinggal bilang lalu barang akan segera muncul. Dan sudah ada di genggamannya.

Tapi tidak bagiku. Itu menyenangkan tapi ada hal lebih yang ku harapkan. Sesuatu yang terus ku minta tapi belum terkabul
juga sampai sekarang.

Orang tuaku. Aku butuh kasih sayang dari mereka. Kepedulian dari mereka.

Mereka. Terlalu sibuk.

Eomma dan appa terlalu sibuk melakukan pekerjaan yang membuatnya terlalu sering lembur.

Apa jabatan sebagai manajer dan CEO masih kurang? Itu sudah cukup. Gaji antara Eomma dan Appa sudah cukup besar untuk memenuhi segala kebutuhan dan keperluan ini.

Apa lagi yang mereka inginkan? Satu perusahaan menjadi hak miliknya? Astaga. Untuk apa? Agar lebih kaya lagi? Bisa di sombongkan pada teman temannya?

Ayolah, aku ini anak satu satunya yang kalian punya. Memang benar segala kebutuhan selalu mereka penuhi, tapi itu tidak cukup.

Kasih sayang. Aku mau itu. Aku iri pada mereka yang selalu bercanda setiap malamnya di ruang keluarga penuh khidmat. Aku iri pada mereka yang selalu bercerita tentang liburan diluar negri bersama keluarganya.

Tolong. Aku iri pada anak kecil dari pasangan suami istri yang bekerja di kedai nasi goreng biasa, tertawa di bawah langit senja dengan makanan ringan di sampingnya.

Kebahagiaan bagi mereka ada tangis bagiku.

Kekanakkan memang jika sudah mengingat umur yang sudah dewasa, tapi ini yang kubutuhkan, kehangatan keluarga yang dulu selalu menyelimuti.

Aku rindu itu.

____

Malam ini, saat Eomma dan Appa pulang lebih awal dari biasanya, tidak terduga, karna biasanya mereka akan pulang larut. Aku memberanikan diri kembali untuk meminta waktu luang dari mereka agar aku bisa menghabiskan waktu bersama dengan kedua orang tuaku.

Maaf, terlalu kekanakan.
Tapi jujur, aku ingin mengembalikan masa senangkan dulu yang kini diambang kesenggangan.

Kaki ini ku kuatkan untuk bisa berjalan menuju ruang keluarga yang sudah ada Eomma dan Appa sedang berduduk santai menonton tv. Mengistirahatkan tubuh yang lelah.

"Eomma, Appa" mereka menoleh sebentar lalu kembali menonton tv.

"Ada apa sayang?"

"Bisakah kita nanti pergi bersama ke Singapura? Hanya Singapura. Ku dengar di sana ada tempat yang begitu asik" menjeda kalimat sebentar, menelan saliva yang sedikit susah, aku sedang berusaha tenang.

"kpita bisa pergi ke Universal Studios, Orchard Road atau Bugis Street"

"Appa tidak bisa. Ada banyak janji untuk meeting dengan perusahaan besar nanti."

"Eomma juga. Eomma ada banyak pertemuan dengan kolega Eomma, dan reuni dengan teman Eomma"

See. Hal yang sudah ku tebak sebelumnya terjadi. Penolakan selalu ku dapat.

"Padahal aku belum memberitahu waktunya kapan, tapi kalian sudah menolak duluan? Tidak bisakah meluangkan waktu Demi aku?" aku memberanikan diri untuk berkata seperti itu. Kata kata yang sering ku katakan pada mereka sebelumnya.

Appa menegakkan badannya. Tanpaknya akan ada kemarahan yang Appa berikan karna sudah bosan dengan ucapanku barusan.

"Jangan aneh, itu tidak bisa terjadi. Kau tau sendiri kan?" nada Appa tersirat kemarahan. Aku mengerti tapi aku juga ingin dimengerti.

"Lalu kapan Eomma dan appa punya waktu untukku? Sudah sejak lama Eomma dan Appa selalu mengundur waktu pergi kita hanya untuk pekerjaan itu"

"Dan sudah berapa tahun kita tidak pergi bersama? Hanya demi orang orang yang mengajak kerjasama dengan perusahaan bos kalian?"

"Masih ingat punya anak tidak?"

Ini adalah kemarahan yang selalu ku pendam selama ini. Ku keluarkan dengan berat agar mereka tau. Ini bukan sekali dua kali hal ini terjadi.

PLAAAKK..

Pipiku. Aargh ini sakit.

Aku memegangi pipi yang sudah di beri tanda merah oleh Appa. Tak ku sangka appa kembali melakukan hal ini. Memang akhir akhir ini juga, Appa begitu sensitif.

"Ini semua juga untukmu" nadanya meninggi. Appa benar benar marah sepertinya. Eomma diam saja, dia mendukung Appa melakukan hal seperti itu.

"Untukku? Yakin? Aku tidak butuh semua itu jika itu hanya membuat kita semakin jauh" biarlah appa semakin marah dengan ucapanku. Aku tak peduli. Toh kekacauan sudah terjadi.

Rasanya hampa. Memiliki tapi seperti tidak merasa dimiliki.

PLAAAKKK...

Aah pipi kananku. Kedua pipi ini terasa nyeri. Berdenyut. Wajahku seperti memerah setelah mendapat tamparan di kedua pipiku.

"Apa yang kau bicarakan? Tentu saja itu di butuhkan oleh kita. Pekerjaan Appa dan Eomma, uang appa dan Eomma, kita membutuhkannya"

"Lebih tepatnya kalian yang membutuhkannya"

"Lisa cukup" baiklah, sepertinya Eomma juga sudah tersulut emosi mendengarku yang sudah terlalu sering berbicara tidak sopan pada kedua orangtuanya.

"Kenapa Eomma? Bukankah itu benar yaa" tatapan mataku kini beralih pada eomma yang berada di samping Appa.

"Lisaa. Kauu benar benar..." Appa benar benar marah sekarang.

Tangannya terangkat ingin memukul bagian tubuhku yang entah apa. Aku memejamkan mata. Bersiap menerima pukulan itu dengan hati kuat.

Ting Tong....

Suara bel langsung menghentikan tangan Appa yang sebentar lagi akan mengenai punggungku. Dapat kulihat saat aku membuka mataku.

"Biar Eomma yang buka" Eomma meninggalku dan Appa berdua di ruang keluarga ini.

Appa masih menatapku emosi yang menggebu. Sekuat tenaga aku menahan air yang sudah penuh di pelupuk mata.

Kuat. Jangan nangis di depan Appa. Kau akan terlihat lemah nanti.

*Lisa pov end

Beberapa orang berseragam rapih dengan badan yang tegap menunggu di depan pintu kediaman keluarga Mark.

Eomma membuka pintu dengan perlahan.

Matanya membelalak saat sudah melihat orang yang mengetuk pintunya.

"A-ada apa?" Eomma gelagapan menanyakan maksud tujuan mereka mendatangi rumahnya.

"Apa benar ini kediaman tuan mark dan Nyonya Mark?" suara berat dari seorang lelaki membuat Eomma semakin takut.

Eomma langsung masuk kedalam lagi dan memanggil sang suami yang masih menatap emosi putrinya.

"Iyaa saya Tuan Mark, ada perlu apa ya?"

Salah seorang itu mengeluarkan selembaran kertas yang ada di dalam amplop coklat.

"Tuan Mark dan Nyonya Mark, kalian di tangkap, atas tuduhan penggelapan uang perusahaann.

Painful ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang