18. Split up

6.5K 943 69
                                    

Satu minggu yang kelewat tenang. Sejak hari di mana Donghyuck mengirimkan sebuah pesan singkat minta berpisah dan berakhir pada kebodohannya tidur dengan Lee Jeno, begitu pula sejak terakhir Jisung bertengkar dengan Jeno di kampus dan berakhir dengan sebuah konversasi panjang.

Keduanya benar-benar tidak tampak bersama lagi. Mengundang tanda tanya, tapi tak ada yang berani bersuara.

Donghyuck tampak tenang, kelewat cuek tidak peduli. Bahkan sudah empat hari Jisung tidak masuk tanpa kabar, dosen sudah memberinya nilai D sebagai hukuman. Tapi Donghyuck tetap tidak peduli.

Dia tidak ingin tahu apa pun itu.

Ketika mengetahui fakta jika Jaemin berbohong; dia tidak hamil. Ada sebersit rasa bahagia luar biasa, membuncah ruah seakan kesempatan memiliki Jisung adalah mutlak miliknya. Tapi untuk apa?

Pada akhirnya dia menyadari, Jaemin hamil atau tidak-- hubungan mereka sudah seperti racun yang mendarah daging.

Mereka berdua terlihat panas, liar, bebas dan sempurna. Tapi rusak di dalam.

Memaksakan diri untuk bertahan, semakin membuatnya tampak bodoh. Sementara Jisung yang mengaku cinta, namun masih bisa menggoda yang lain. Mereka mungkin cocok di ranjang, tapi tidak untuk hubungan jangka panjang.

"Apa kau tidak tahu ke mana Jisung?" tanya Lami, teman sekelas mereka. Gadis cantik perpaduan Korea-China yang sedikit tampak menahan gugup lantaran ditatap Donghyuck begitu intens.

"Tidak. Kenapa?" Donghyuck merespon dingin sekali.

Tampak tidak peduli, padahal lubuk hatinya dipenuhi rasa ingin tahu di mana pria itu.

"Kalian tidak dekat lagi?" Lami bertanya dengan sorot mata lembutnya, sesekali tangannya menepikan anak rambut halus itu ke sebalik telinganya.

Donghyuck tadinya enggan menanggapi, dia tidak suka berbicara dengan orang yang tidak begitu dekat dengannya. Terutama gadis-gadis. Tapi Lami terlihat berbeda dibanding yang lain. Donghyuck tahu karena mereka sekelas sejak semester satu.

"Kami sudah berpisah," Donghyuck menjawab kemudian tersenyum tipis. "Dia akan menikah dengan gadis pilihan orang tuanya."

Lami mengangguk paham, lalu seperti teringat sesuatu dia mengambil ponselnya dan menunjukkan pada Donghyuck. "Lee, apakah kau tahu tentang ini?"

Donghyuck memperhatikan baik-baik apa yang ada di layar ponsel gadis itu. Sebuah berita utama, headline pada sebuah situs terkenal Korea Selatan. Donghyuck menggeleng lemah, hatinya mencelos.

"Aku tidak tahu. Aku dan Jisung seminggu ini tidak saling berkabar." Donghyuck langsung berbalik pergi, mengabaikan Lami yang tak sempat mengatakan apa-apa lagi. Pikirannya kusut, antara sedih dan kecewa karena dia tidak tahu sama sekali jika Jisung mengalami masa yang sangat sulit.

Pikirannya terbagi, dengan ingin tahu apa yang terjadi dan tidak perlu tahu lagi. Donghyuck memutuskan duduk di bawah pohon rindang di taman kampus. Membiarkan pikirannya berkelana lebih dahulu agar tahu di mana harus bersua.

•••

Sementara Jeno baru saja keluar dari gedung dekanat, menemui pembimbing skripsinya. Senyumnya melengkung apik bersama hati yang senang. Kali ini skripsinya lancar, tak ada masalah.

Jeno merasakan beban hidupnya berkurang, kecuali--




"Donghyuck?"

•••

Awkward sekali rasanya.

Itu adalah suara batin mereka berdua. Setengah jam lalu Jeno memohon susah payah pada Donghyuck untuk bicara-- apa pun itu, di mana pun tempatnya, asalkan Donghyuck mau.

Karena Donghyuck juga sudah menjauhi mereka. Selain Jisung-- Donghyuck juga tak ingin mengenal siapa pun lagi yang menjadi mutual Jisung.

Kaum berstrata sultan, crazy rich, si anak-anak bebas dan liar. Donghyuck mundur dan menjauh, belajar melapangkan dada. Dia hanyalah seorang pemuda biasa dengan ayah mantan penjudi yang bekerja di pelabuhan. Untuk makan dan kuliah saja sudah bersyukur. Dia tak punya waktu lagi untuk bersenang-senang dengan mereka. Tak akan bisa mengikutinya, terlalu tinggi.

Donghyuck hanya menunduk dengan sibuk mengaduk pudingnya hingga tak berbentuk. Jeno membuka suara, tapi bingung. Canggung adalah definisi mereka.

Kenyataan yang menyebabkan ini tentu saja karena insiden ranjang malam itu. Kenyataan bahwa Jeno mengambil kesempatan saat dia mabuk dan pria itu sahabat baik Jisung, membuat Donghyuck selalu berakhir marah dan jijik.

"Donghyuck," Jeno memanggil dengan lembut, membuat dagu di manis terangkat guna melihat lawan bicaranya.

"Ya," respon Donghyuck datar.

"Maaf. Maaf untuk semua. Maaf untuk yang sudah terjadi. Maaf karena aku-"

Donghyuck mendesis, tangannya yang tadi sibuk mengaduk puding kini meremar tisu yang ada di atas meja. "Berhenti minta maaf! Maaf tidak mengubah segalanya. Apa kau tahu, kupikir kau berbeda. Kau baik padaku dan ayah. Atas semua bantuanmu, aku ucapkan terima kasih. Tapi ternyata kau sama baja, bajingan!"

Jeno meneguk saliva, membiarkan Donghyuck meluapkan amarahnya. Dia memang pantas.

"Aku sudah lebih tenang dengan hidup tanpa siapa pun dari kalian. Aku hanyalah mahasiswa biasa, bukan bintang kampus seperti kalian. Biarkan aku berjalan di bawah, jangan membawaku naik lagi. Aku tak siap dengan segala kemewahan yang kalian miliki. Tempatku bukanlah di sana,"

Donghyuck meletakkan beberapa lembar uang di atas mejanya dan berdiri. "Lee Jeno, ini uang untuk makananku. Kau tak perlu membayarnya. Terima kasih."

Dia melangkah, memutuskan pergi. Tak ingin tahu lagi tentang mereka. Tak ingin mengenal mereka. Tak peduli pada mereka.

"Donghyuck, apa kau tak mau tahu bagaimana keadaan Jisung yang menyedihkan saat ini?"

to be continued
.
.
gais, ada yang rindu sama ff ini? eh salah nanya, maksudnya ada yang bosan ndak sama ff ini karena sering up?

Toxic || JihyuckTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang