21. Hard

6.3K 845 52
                                    

Tiga kata, berbaris rapi dengan informasi datar.

"Aku tidak peduli."

Selepas itu Donghyuck pergi, meninggalkan Jeno yang bahkan masih tak percaya. Donghyuck tidak peduli? Tidak peduli? Tidak peduli?

Pada Jisung?

Meski Jeno menyelipkan kalimat bahwa Jisung menyedihkan saat ini, dan Donghyuck pergi begitu saja? Kali ini Jeno merinding, ini terjadi di depan matanya sendiri. Dan sekarang Jeno percaya ungkapan itu ada---




Karma is a bitch.

•••

Perusahaan besar milik keluarga Park katanya bangkrut. Ayahnya Jisung ditahan polisi karena dugaan penyelewengan pajak dan mencurangi pembagian keuntungan dalam kontraknya bersama perusahaan Na.

Kasihan sekali ya. Mereka biasanya berlagak dewa, memamerkan harta. Sekarang Jisung bahkan tidak berani ke kampus.

Kudengar, rumah dan mobilnya disita. Rekening keluarga dibekukan. Sayang sekali ya, pria tampan itu miskin karena keserakahan ayahnya.

Ahh tidak juga. Kurasa Jisung juga sama. Pria itu kan menjerat gadis-gadis mendekat lalu ditinggalkan.

Satu-satunya orang yang mampu bertahan lama di sampingnya hanya Donghyuck. Tapi apa kalian dengar gosip baru?

Mereka putus.

Tentu saja, Jisung sekarang miskin. Donghyuck kan selama ini dimanja materi, kalau Jisung miskin apalagi yang diharapkan? Modal wajah ganteng, hari gini hidup susah. Pria manis seperti Donghyuck gampang menjerat pria kaya lain. Seperti Jeno misalnya.

Donghyuck tidak peduli.

Gosip itu terus dan terus saja diucapkan. Lalu berkembang semakin luas. Dia tidak ingin meluruskan apa pun.

Donghyuck berjalan sendirian menuju halte, menghitung uang di saku guna membayar ongkos bus. Sejenak dia bersenandung, mengusir penat sebab halte sepi dan bus lama sekali. Rencananya Donghyuck akan mampir ke Hongdae, mencari kafe atau toko yang butuh pegawai part time.

Dia akan mengumpulkan uang sendiri untuk kuliah, sebab ayahnya sedang menabung untuk membeli sebuah rumah. Lee Jeno adalah orang yang berjasa dengan segala perubahan baik ayahnya. Donghyuck sudah berpikir untuk berterima kasih secara pribadi, tapi nanti saat semua sudah berjalan normal.

Ada sebersit penasaran di dada, semenyedihkan apa seorang Park Jisung sampai harus jadi bulan-bulanan gosip kampus. Haruskah dia datang menemui pria itu? Tapi Donghyuck takut, jika dia melihat Jisung lagi maka semua langkahnya menjauh sia-sia.

Donghyuck bimbang.

Dia bersandar di dinding halte dan membiarkan bus lewat begitu saja. Ponselnya dimainkan, tak ada notifikasi dari nomor Jisung lagi. Tentu saja, Donghyuck sudah memasukkannya dalam daftar blacklist.

Entah dorongan dari mana, dia membuka pesan yang masuk daftar tolaknya. Ada begitu banyak dari Jisung dan ada yang baru.

Hari ini?

Donghyuck hyung, maaf. Sekali saja aku ingin bertemu. Kumohon.

Donghyuck menekan delete pada semua pesan itu. Dia tidak peduli. Tidak ingin tahu. Dan memutuskan beranjak dari halte, minum kopi mungkin dapat melonggarkan syarafnya yang tegang.

•••

Pria itu merapikan seragam kerjanya, mematut diri sebentar di depan cermin dan tersenyum kecut. Wajahnya yang tampan sedikit terganggu dengan gurat-gurat kesedihan.

"Donghyuck hyung benar-benar membenciku." Jisung bicara sendiri. Dia memejamkan mata sebentar, menahan butiran air yang sedikitnya sudah membasahi ujung kelopak matanya.

Semua terlalu sakit, terlalu berat, dan Jisung butuh seseorang untuk bersandar. Dia butuh Donghyuck.

Tapi Jisung sadar, sekarang dia bukanlah siapa-siapa. Donghyuck mencampakkannya, membayar kembali semua yang sudah dia perbuat. Dan Jisung tak bisa marah. Donghyuck berhak melakukan ini semua.

"Jisung," sapaan lembut itu menyentuh rungunya. Mendapati sang ibu berdiri di depan pintu kamar yang setengah terbuka.

"Mau kerja nak?"

"Iya bu." Jisung tersenyum ramah dan melirik ke arah kotak makanan yang dibawa ibunya. "Ibu ingin bertemu ayah ya?"

Nyonya Park mengangguk. "Maafkan kami, kau seharusnya kuliah. Bukan bekerja seperti ini,"

Jisung memeluk ibunya, mengusap punggung ringkih itu pelan-pelan sambil mencoba menahan tangisnya juga.

"Kita tidak memiliki apa pun lagi," Ibu Jisung menggumam. "Bagaimana kita bisa hidup?"

"Bisa bu, bisa! Aku yang mengambil tanggung jawab atas ibu sekarang,"

"Jisung," Sang ibu menatap dengan penuh harap. "Bisakah kau menerima Jaemin? Jika kalian menikah, ayahnya bisa meringankan hukuman yang menjerat ayahmu. Kita juga tak perlu hidup seperti ini,"

Jisung menggeleng. "Aku tidak bisa bu, maaf."

"Apa kau tidak kasihan pada ayahmu?"

Jisung tidak menjawab. Dia hanya melepaskan pelukan pada ibunya dan pergi keluar. Saatnya untuk bekerja.

•••

Kafe ini milik kakak Mark, tapi pria itu yang mengelola. Dia sedang berdiri di sudut dapur sambil bercakap dengan pria tampan yang lain.

"Kembalilah ke kampus, Ji! Jangan pikirkan uang kuliah atau apa pun itu. Kau punya kami, sahabatmu."

Jisung menggeleng. "Fokusku sekarang mencari uang dulu untuk bertahan hidup. Kau tahu bukan, rekening keluargaku dibekukan semua. Ibu tak pernah menabung, aku juga tidak. Jadi kami tidak memiliki uang simpanan,"

Jisung meletakkan chessecake dan secangkir cappucino ice ke atas nampan. Dan menatap Mark sebentar sebelum beranjak.

"Kalau kau mau membantuku, cukup jaga Donghyuck dari kejauhan di kampus. Aku merindukannya."

•••

Langkahnya sangat pelan, hati-hati sekali seakan takut menjatuhkan benda yang dia bawa. Ini kali pertama dia bekerja, Jisung tak terbiasa dengan hal seperti ini.

Meja no. 27, di ujung sekali. Jisung sedikit heran kenapa ada orang mau duduk di spot yang paling sepi dan berada di antara rimbunnya tanaman pot itu. Pria berjaket tebal hitam dengan topi yang hampir menutup separuh wajah.

"Ini pesanannya tuan,"

"Jisung?"

to be continued
.
.
ai lop yuu may ridersss💚💚

Toxic || JihyuckTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang