24. Deserved

5.7K 819 34
                                    

"Kami sudah berpisah,"

Jisung mengucapkannya dengan berat hati, lalu dengan tatapan redup tanpa binar bahagia lagi seperti dulu. Pria jangkung itu melihat jari manisnya yang dihiasi sebuah cincin. Benda berharga yang dibeli Jisung saat hari jadi setahun mereka berdua, diselipkan pada jari keduanya, berikrar janji setia dan saling menjaga, menguatkan dalam segala keadaan, bersedia menerima kekurangan satu sama lain tapi semua berakhir.

Karena kebodohannya.

Nyonya Park tak memberi komentar, membiarkan dulu anak lelakinya memberi jeda pada tiap penjelasan yang terlontar. Wanita itu paham anaknya merasa sakit yang amat dalam bersamaan dengan rasa penyesalan.

"Ibu tahu, dia meninggalkanku. Tapi tetap bersedia menjadi temanku. Tidak menertawakan keadaanku saat ini, tetap memelukku saat aku menangis, tetap tersenyum tulus padaku yang sudah berbuat jahat padanya. Ibu kenapa aku bisa sangat bodoh? Mengkhianati orang sebaik dirinya. Harusnya Donghyuck menamparku, meludahiku atau bahkan dia tidak menginginkan aku ada lagi. Tapi..."

Nyonya Park meringsek maju, memeluk anaknya yang terlihat begitu emosional. Di pelukan sang ibu, Jisung lebih berani. Lebih terbuka. Dia menangis sekencang-kencangnya, lebih dari tangisannya di depan Donghyuck dan Jeno.

"A-aku... aku mencintinya, bu."

"Nak, terkadang kita memiliki sesuatu yang sangat berharga. Tapi kita kurang memperhatikannya, dia tersisihkan dan kita semakin lupa. Ketika dia hilang, barulah kita menyesal. Ibu tahu kau merasa marah pada dirimu sendiri. Mungkin Tuhan sedang memberi kita hukuman agar kita sadar,"

Nyonya Park memandangi anaknya lekat-lekat.

"Ayahmu selama ini terlalu ambisius, mencapai tujuannya dengan cara apa pun. Ibu adalah ibu yang kurang baik karena tidak mampu tegas padamu dan mengingatkan ayahmu saat dia berada di jalan yang salah. Lalu dirimu, ibu tidak tahu di luar sana seberapa banyak kesalahanmu pada Donghyuck. Tapi ibu masih mengingat satu hal Jisung, terakhir kali Donghyuck kemari ibu tahu dia menangis karena kalian bertengkar. Sedih sekali melihatnya,"

"Ibu-"

"Sebelum tidur malam, berdo'alah! Tuhan selalu mendengarkan do'a dari orang yang merendahkan dirinya karena menyesal sekali atas semua dosa. Semoga besok, semua berjalan lebih baik, nak."

"Iya bu, amin."

•••

Renjun turun dari mobilnya, diikuti Mark dan Jeno. Sementara Lucas dan Chenle lebih dulu menunggu mereka di bawah sebuah pohon rindang. Mereka berlima melihat sekeliling dan merasa miris.

Tentu saja.

Ini kawasan paling murah di Seoul. Berbanding terbalik dengan semua kekayaan keluarga Park di masa lalu. Bahkan Porsche milik Renjun dan Range rover kepunyaan Lucas yang sekarang terparkir di pinggir jalan mulai jadi pusat perhatian. Orang-orang merasa penasaran, sangat jarang bahkan mungkin tidak pernah ada orang yang begitu kaya masuk ke daerah ini.

"Yakin Jisung tinggal di sini?" tanya Lucas pada Jeno.

Pemuda sipit itu mengangguk mantap. "Yakin kok! Aku yang mencarikan hunian untuk mereka. Kalian siap menemuinya?"

"Tentu saja, Jisung teman kita!" ucap Mark bersemangat.

Berbeda dengan Renjun yang mendengus malas. "Harusnya siang hari begini aku tidur di rumah,"

"Ya ya ya, pulang dari sini tidur di apartemenku saja!" Jeno memutar bola matanya malas seraya membujuk setengah hati.

"Apa kalian benar-benar bersama sekarang?" Chenle mendadak ingin tahu.

Jujur saja, Jeno dan Renjun itu rumit. Kadang terlihat dekat, kadang terlihat jauh, kadang tidak kenal. Tapi mereka jarang bertengkar hebat. Paling sebatas sindiran sarkas lalu saling diam dan menempel lagi. Membingungkan.

"Tidak," Renjun menjawab cepat.

Jeno cuma menahan tawa. Dan ketika semuanya melangkahkan kaki untuk menuju rumah Jisung, Jeno memilih tertinggal di belakang. Berjalan pelan seraya mengambil tangan Renjun dan menautkan kelingkingnya di sana.

"Jangan besar kepala! Aku begini karena kita sedang pura-pura kencan," Jeno berkata sambil memandang lurus ke depan.

Renjun tersenyum miring menanggapinya. "Terserah kau saja! Kau kan aneh, tidak bisa jahat berlagak jahat. Tidak bisa bohong berlagak bohong. Dan tidak bisa marah berlagak marah. Lee Jeno, ayam!"

"H-heiiii! Aku ini pria tampan dengan abs enam kotak. Bagaimana bisa kau menyebutku ayam!"

•••

Jisung meletakkan enam cangkir teh bersama sedikit camilan manis di meja. Dia kemudian duduk dan tersenyum pada tamu-tamunya. Namun mereka tahu, itu senyum terpaksa.

"Maaf hanya bisa menjamu dengan ini,"

"Hei, kau bercanda! Aku suka teh hijau, ini baik untuk kulitku," Chenle berucap keras, mencoba membesarkan hati Jisung agar tidak perlu merasa kecewa.

"Dude, jangan bersedih! Kami temanmu, kami ada di sini untukmu. Jadi bersikap santai saja, kita masih sama kok. Masih bersahabat seperti biasa," Lucas menimpali.

Jisung merasa lebih baik. Dia mengangguk penuh semangat. "Terima kasih hyung!"

"Park, rumahmu kecil ya, berbeda dengan yang dulu." Renjun berkata dengan amat santai sambil duduk di sofa. Membuat yang lainnya langsung melotot karena bibir pria itu lupa dipasangi filter. Jeno menepuk jidatnya sendiri, sebab Renjun membuat Jisung terlihat murung lagi.

"Apa? Mau protes? Memang kecil kok!" Renjun balas mendelik sambil melanjutkan. "Tapi, inilah definisi rumah yang sebenarnya. Kau tahu, meski rumah bak istana tapi isi kepala penghuninya kosong itu sama saja bohong. Aku suka rumahmu yang baru ini. Taman kecilnya asri, ada banyak anak kecil bermain di luar, orang bersepeda sambil bercengkrama di pinggir jalan." Renjun menunjuk ke luar dan yang lain ikut melihat.

Mereka tertegun. Renjun benar.

"Ya, kita terlalu lama menikmati hidupbdengan hanya melihat ke atas. Bersenang-senang seolah hidup hanya satu hari. Tidak memikirkan masa depan. Tidak menghargai orang yang kita sayangi. Kita minum, kita berpesta, kita memakai obat tanpa kita sadari merusak diri sendiri." Mark bicara sambil tertawa hambar.

"Ya, kuharap kalian menjaga apa yang kalian sayang sebaik mungkin. Agar tidak menyesal sepertiku," Jisung menghirup napas dan membuangnya kasar. "Aku sungguh merindukan Donghyuck hyung, tapi kami sudah berpisah, berkomitmen sebagai teman baik. Dan sayangnya sebagai teman aku tidak bisa berharap lebih lagi seperti dulu."

to be continued
.
.
gais, bagaimana hari minggu kalian tadi?
kalau ay mah jangan ditanya,

Toxic || JihyuckTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang