2. Alur

13.8K 2K 201
                                    

Aku bisa memelukmu di tengah badai, mengirimu makanan ketika kau lapar,

Tapi jika harus menentang Dia yang bersabda dalam kitabmu, aku tak sanggup.

********

"Demi Tuhan, saya capek ngurusin skripsi!" Sungutnya sambil melempar seonggok skripsinya yang penuh coretan.

Hari ini aku menemaninya mengerjakan skripsi lagi. Kak Aji memang menargetkan ia wisuda tahun ini, katanya ia tidak ingin lama - lama bergelut dengan Pak Sarif, dosen pembimbingnya yang terkenal sulit diajak diskusi.

"Yaudah lah,kak. Nggak usah terlalu ambis. Ambil tahun depan 'kan masih bisa"

Kak Aji meletakkan kacamata bulatnya pada meja resto.

"Kalau saya nggak ambis, nanti saya nggak lulus - lulus. Kayak kamu," ejeknya. Seketika aku memukul lengannya dengan buku tebal yang tergeletak di atas meja.

"Aww!!" Lelaki itu mengusap - usap lengannya dan meringis pelan.

"Sukurin! Eh iya, emang kenapa sih kak Aji  revisi terus skripsinya?" Tanyaku penasaran karena setahuku kak Aji ini rajin, tata bahasanya juga sudah rapi, dia juga cukup ahli dalam mengolah data.

"Nggak tau tuh! Pak Sarif nggak mau ngasih tau yang bener kayak gimana, susah diajak bimbingan, alasannya selalu sibuk. Kenapa sih saya dapat dospem susah kayak gini? Padahal ya, hampir setengah masa kuliah saya, saya habiskan buat jadi asdos, tapi dosen - dosen itu nggak ada yang bantu saya," ucapnya sambil merengut kesal. Aku tertawa, ia terlihat lucu dengan wajah kesalnya.

Untuk sekian kalinya, aku jatuh cinta kepadanya.

"Yang sabar, orang sabar disayang Tuhan"
Ia hanya mengangguk dan melanjutkan ketikannya.

Hampir setengah jam aku hanya memandanginya mengerjakan skripsi, terkadang tersenyum geli ketika mendengar ia mengumpat, memberikan cemilan ketika ia mengeluh lapar. Seketika aku teringat awal pertemuanku dengan kak Aji, hari itu ia mengenakan kemeja hitam dan kacamata bulatnya. Mengajar di kelasku, menggantikan dosenku yang entah pergi kemana. Saat itu aku belum mengenal siapa Aji Narendra Imanuel, hari itu aku hanya mengenal 'asdos Aji', mahasiswa semester 4 yang ramah. Saat itu, kulihat kak Aji terlihat lelah. Muncul inisiatif memberikan ia sedikit ucapan semangat. Ketika hari pengumpulan tugas, aku menyelipkan note berisi serangkai kalimat 'apapun perkaranya, jangan menyerah. Tetap semangat' dengan emoticon senyum di akhir kalimat. Kupikir, kak Aji tidak akan menggubrisnya atau, bahkan tidak akan membacanya. Namun, ternyata aku salah. Beberapa hari setelahnya, setelah ia selesai mengajar. Ia menungguku di depan kelas, mengatakan hal sepele seperti 'hai' yang kubalas kikuk dengan senyuman. Katanya, ia ingin berterima kasih karena sudah mengiriminya notes. Awalnya hanya basa - basi ucapan terima kasih, lalu berlanjut dengan pertemuan - pertemuan yang awalnya tidak sengaja, menjadi sengaja.

Seklise itu memang.

Awalnya aku tak tahu bahwa selembar note itu akan membawaku pada titik ini. Titik dimana kita sudah mulai tidak peduli dengan perbedaan keyakinan, kita hanya berjalan sesuai alur. Jika masanya berpisah, maka harus bisa saling melepaskan. Kita berjalan sesuai alur sembari berpikir, bagaimana solusi untuk ini semua. Karena kata kak Aji,

'Jika tidak ingin mencari solusi, ya sudah. Kita selesai saja, jangan menyalahkan keyakinan'

"Kak, habis kuliah aku mau kerja"

"Waah, bagus dong"

"Nanti kalau udah dapet kerja, mau nikah" kak Aji berhenti memainkan jarinya diatas keyboard laptop.

"Nikah? Sama?"

"Sama kakak" Kak Aji diam, ia hanya menghela napas lelah sebelum melanjutkan ketikannya pada laptop.

"Jangan berharap yang muluk - muluk"

Seketika bahuku turun, merasa kecewa dengan jawabannya.

"Kenapa?"

"Karena kamu dan saya tau, hal itu kecil kemungkinannya untuk terjadi. Syif, coba mulai dari harapan kecil dahulu. Contohnya, harapan kita bisa bertahan sampai bulan depan"

Aku diam, rasanya terasa sesak di dada. Kalimat sederhana itu menusukku dengan begitu hebat. Ya, kak Aji tidak pernah berharap muluk perihal kita. Ia hanya akan berharap, kita bisa bertahan hingga minggu depan, jika terpenuhi. Ia akan berharap lagi, kita bisa bertahan hingga bulan depan. Kak Aji bilang, harapan bisa sedikit, hanya saja harus setiap hari.

Dan begitu juga caranya mencintaiku. Hanya sedikit, tetapi setiap detik, katanya.

********

"Cipa!" Aku sedikit tersentak ketika Alisha menepuk pundakku.

"Tumben nggak sama kak Aji"  aku menggelengkan kepala.

"Kak Aji lagi sama kak Agnes. Ada acara di gereja" Alisha mengangguk paham, sedetik kemudian ia menyandarkan kepalanya pada bahuku dan  merengek.

"Ciiip... Gue putuuuuss" ucapnya sambil menangis yang dibuat - buat tapi hal itu mampu membuatku terkejut, pasalnya Radit dan Alisha jarang bertengkar dan sekarang tiba - tiba putus.

"Hah? Kok bisa? Lo selingkuh ya?"

Alisha mendorong kepalaku ke belakang menggunakan telunjuknya.

"Ngawur. Ternyata selama ini gue sama Radit beda keyakinan"

Seketika aku terkejut, setahuku mereka tidak seperti itu.

"Hah? Masa?" Alisha mengangguk mantap.

"Iya, beda keyakinan. Gue yakin ke dia, dia nya nggak yakin ke gue"

Seketika aku ingin menyeburkan Alisha ke danau fakultas kehutanan. Sungguh, gadis ini sangat menyebalkan.

"Anjing! Gue pikir beneran"

"Eh eh, ngomong kasar. Gue cepuin ke kak Aji, mampus lo!" Alisha menunjukku dan tersenyum jahil, ini adalah kalimat andalannya setiap kali aku berkata kasar.

Kak Aji tidak suka jika aku berkata kasar, katanya seperti tidak berpendidikan, tapi faktanya bukan seperti itu, bukan karena tidak berpendidikan hanya saja, rasanya setiap kali aku berkata kasar walau hanya sepatah kata saja, seluruh amarahku bisa hilang begitu saja.

"Cip, kemarin si Kayla ngeluh. Katanya kangen sama pacarnya yang lagi seminar di Semarang, padahal baru tiga hari. Gue yang LDR dua tahun Indonesia - China, biasa aja"

"Ya udah sih, Sha. Berarti dia nggak tahan kalo diajak LDR. Gue yang dua tahun LDR beda tempat ibadah, juga biasa aja" Alisha diam, memandangku dengan tatapan sedikit kasihan.

"Aaaaa!!! Sumpah, lo sama kak Aji kuat banget hadepin semuanya. Semangat cipakuu" Alisha memelukku erat, seperti sedang menyalurkan semangat dan kehangatan.

Karena faktanya, ldr beda tempat ibadah, lebih menyesakkan daripada ldr beda wilayah.

*********
Haii!!!

Thanks for reading!!!

P.s : cerita ini tidak bermaksud menyinggung ras,budaya,agama,atau kelompok golongan tertentu. Cerita ini murni untuk pengingat toleransi dan sebagai bacaan. Terima kasih

Don't forget to vote and comment!!!

Byebye!!

Salam manis,
Royalsjeno_

Dari Aji [Hidup Untuk Layat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang