25. The truth which almost told

3.3K 577 72
                                    

Aji menundukkan kepalanya, pemuda itu kini tengah berdiam diri di bangku gereja. Hanya ada segelintir orang di dalam gereja, karena memang bukan jadwal mingguan. Lelaki itu menundukkan kepalanya semakin dalam, berusaha menahan air mata yang hampir turun. Pundaknya begitu berat akhir - akhir ini, entah kenapa seperti ada yang menahan langkahnya. Pemuda itu tak habis pikir ia bisa mengabaikan Syifa hari ini, melewatinya saja sekarang mampu membuat dada Aji sesak tak terkira. Apalagi meninggalkannya? Sungguh, itu diluar kuasa Aji.

"Apa sekarang waktunya? Apa memang sekarang waktunya Kau memisahkan kami? Apa ini jawabannya? Kau dan Dia tak mengizinkan kami bersama?" Aji menginggit bibir bawahnya, katakanlah Aji terlalu berlebihan hingga menangis. Namun, memang seberharga itu Syifa baginya. Baginya Syifa bagaikan Aira, yang menopang hidupnya, menyokongnya untuk tetap hidup, sumber kehidupan yang Tuhan kirim untuknya.

Namun, sepertinya ia salah. Karena jika ia benar, Tuhan tak mungkin memisahkan mereka berdua.

************
Syifa dan Adam berjalan beriringan memasuki cafe bernuansa coklat yang hangat. Hari ini Adam berjanji membelikan Syifa makan malam, maka cafe ini yang ia tuju.

Syifa mendudukkan dirinya di salah satu bangku yang ada di depan Adam, mereka berdua berbincang hangat hingga seorang pelayan menghampiri.

"Permisi, mas, mbak. Mau pesan apa?"

Adam mengambil salah satu buku menu, begitupun Syifa. Gadis itu menelisik berbagai jenis makanan dan minuman yang ditawarkan dan pilihannya jatuh pada roti bakar dan es serut kelapa muda.

"Baik, saya ulangi pesanannya. Dua porsi roti tawar, satu americano, dan satu es kelapa muda"

Adam mengangguk dan dibalas senyum ramah oleh pelayan itu.

"Baik, ditunggu ya. Selagi menunggu, kalian juga bisa menikmati tampilan musik"

Giliran Syifa yang mengangguk dan tersenyum ramah. Sepeninggal pelayan itu, Adam dan Syifa kembali saling mendiamkan. Adam yang awalnya ragu untuk memulai pembicaraan, kini menatap bingung ke arah Syifa yang menggigit kukunya resah sambil terus menatap ponselnya.

"Kenapa?" Tanyanya

Syifa mendongak, ujung kuku jempolnya masih tak terlepas dari mulutnya. Beberapa detik ia tersadar, segera ia melepas gigitannya pada kuku dan menggeleng, tanpa melupakan senyum pada Adam.

"Kamu kelihatan bingung. Cerita aja nggak papa"

Syifa terlihat berpikir sebentar, gadis itu ragu untuk menceritakannya pada Adam. Karena menurutnya masalahnya dengan Aji bukanlah perkara yang harus diketahui publik. Namun, jika ia tidak bercerita, tatapan menuntut dari Adam mampu mengintimidasinya secara tidak langsung.

"Kak Aji nggak bales chat-ku"

Adam memalingkan wajahnya, entah mengapa ketika nama Aji disebut, amarahnya kembali memuncak. Pemuda itu berkali - kali menarik napasnya untuk mengontrol emosi, di balik meja tangannya sudah terkepal kuat.

"Mungkin dia sibuk"

Syifa menghela napas dan mengangguk, menyetujui apa kata Adam. Mungkin Aji memang sesibuk itu hingga tak bisa membalas pesannya.

"Ayo, dong semangat. Aku ngajak kamu ke cafe ini bukan buat galau-in Aji"

Syifa terkekeh mendengar ucapan Adam.

Dari Aji [Hidup Untuk Layat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang