Aku masih setia memandangi kak Aji yang sibuk dengan kotak makan di hadapannya
"Kamu nggak makan?" Tanyanya sambil membersihkan sedikit bumbu yang menempel pada tutup kotak makan.
"Enggak. Aku lagi puasa"
Mendengar itu kak Aji segera mendongak, menghentikan acara mengunyahnya, dan melebarkan matanya. Sedetik kemudian pemuda manis di hadapanku ini segera membereskan kotak makannya.
"Kok kamu nggak bilang? Saya jadi ngerasa nggak enak makan di depan kamu" gerutunya sambil menggeser kotak makannya menjauh.
Aku hanya tertawa kecil.
"Kok malah nggak dilanjutin makannya? Aku nggak papa, kak. Kak Aji makan aja" kataku sambil membukakan kotak makannya. Belum sempat terbuka sempurna, pemuda itu malah mencegahku membukanya. Alisnya bertaut, kepalanya menggeleng kecil.
"Saya mau nemenin kamu puasa"
Ada hangat menjalar secara diam - diam, darahku terasa berdesir. Dia selalu seperti ini.
"Nggak, kak. Kasihan mama susah - susah masak buat kamu"
Sekali lagi dia menggeleng.
"Kan nanti di rumah saya makan juga. Kalo sama kamu, saya nggak mau makan. Nemenin kamu, biar sama - sama lapar"
Aku hanya tertawa, ucapannya tak berubah meski dua tahun berlalu. Dia selalu mengatakan hal yang sama setiap kali aku berpuasa.
"Saya anterin pulang sekarang atau nanti?"
"Sekarang aja, aku juga belum nyiapin buat buka"
"Sekalian aja beli jajanan buka buat ayah. Ayah juga puasa 'kan?"
Aku mengangguk, melihat itu matanya berbinar. Dia berjalan mendahuluiku dan terlihat bersemangat ingin membelikan martabak untuk ayah
Bahkan setelah menerima penolakan berkali - kali dari ayah, dia tetap berusaha tanpa ada kata lelah
********
Ketika aku hendak memakai sabuk pengaman, ponselku berdering. Sebuah nomor tak dikenal terlihat tengah berusaha menghubungiku.
"Hallo?"
"Assalamualaikum, Syifa?"
"Waalaikumsalam. Mohon maaf, dengan siapa saya berbicara?"
"Syif, kamu lupa suaraku?"
"Maaf, iya. saya lupa"
Terdengar suara helaan nafas dari seberang sana
"Yaudah, nanti juga kamu tau. Nanti kita ketemu di rumah kamu. Assalamualaikum"
"Waalaikumsalam"
"Siapa syif?"
Aku yang sibuk menerka - nerka siapa yang tengah bermain tebak - tebakan suara denganku ini, menoleh kearah kak Aji yang menatapku bingung.
"Nggak tau, nomor tak dikenal"
"Salah sambung kali"
"Tapi dia tau namaku"
"Yaudah, ntar juga nelfon lagi. Jadi beli martabak apa kerak telor?"
Menurut apa kata kak Aji, aku tak ambil pusing siapa yang menelponku tiba - tiba dan bermain tebak - tebakan denganku tadi.
"Martabak aja. Kemarin ayah udah makan kerak telor"
"Okeee!! Ayo kita cari martabak enak untuk ayaah!!"
********
Aku mengernyit bingung ketika melihat sebuah mobil berwarna putih terparkir rapi di depan rumahku. Kulihat, seorang pemuda berpenampilan rapi dan rupawan tengah menungguku di teras rumah.
Kak Aji juga sama bingungnya denganku, sedari tadi dia hanya menatapku seperti meminta penjelasan yang hanya kubalas dengan kedikan bahu dan gelengan kepala.
Ketika melihatku datang bersama kak Aji, pemuda itu segera berdiri. Tersenyum lebar, menyalurkan aura pertemanan, padaku. Ya, hanya padaku.
"Permisi, anda siapa?"
Perlahan senyum pemuda itu turun.
"Aku nggak ngira kamu bakal lupa, padahal baru beberapa minggu yang lalu aku kesini. Aku Adam, Syif. Kamu inget? Temen kecil kamu dulu"
Aku mengerjapkan mata beberapa kali sebentar, berusaha membongkar memori lama.
"Oohh Adam!! Aku inget kok! Loh? Bukannya kamu ke Turki?"
Kini senyumannya mengembang kembali.
"Iya, aku cuma ngurus beberapa keperluan sebentar. Aku udah lulus, Syif. Kemarin kesana cuma buat urus keperluan yang belum selesai"
Aku mengangguk singkat dan beralih pada kak Aji.
"Ayo, masuk kak. Kamu juga ngapain disini? Ayo masuk" Ajakku sambil mendahului mereka berdua, sebelum tanganku ditarik pelan oleh Adam.
"Aku pikir sekarang kamu berhijab? Kenapa nggak berhijab, Syif? Harusnya kamu berhijab, Syif. Kamu udah besar, harusnya tau aturan berpakaian yang sopan, nggak pakaian terbuka begini. Besok nggak mau tau, aku mau lihat kamu udah berhijab"
Apa - apaan dia ini? Aturan berpakaian yang sopan? Pakaian terbuka? Sejak kapan celana boyfriend jeans dipadukan dengan kemeja polos berwarna putih berlengan siku bisa dikatakan terbuka? Dia ini kuliah di Turki atau di daerah terisolir?
Aku hendak melepaskan genggamannya dan melayangkan protes, tapi kak Aji lebih dulu melepaskan genggaman Adam dari tanganku.
"Lo bukan siapa - siapanya dia. Lo nggak berhak buat ngatur dia"
Adam menatap telisik kearah kak Aji, ekspresinya seperti tengah menerka - nerka.
"Lo... Si non-is itu ya? Gue kasih tau ya, gue ngomong gini ya karena berhijab itu kewajiban tiap wanita muslim, udah tertera di Al - Qur'an. Percuma gue jelasin, orang non-is kayak lo ya mana paham"
"ADAM!"
seketika emosiku bergejolak, ayah mungkin tidak terlalu menyukai kak Aji. Namun, ayah tak pernah menjelek - jelekkan kak Aji, merendahkan kepercayaannya, atau bahkan menganggap kak Aji bukan bagian dari manusia.
"Jaga omongan kamu, ya. Dia punya nama, namanya Aji. Kamu boleh panggil nama dia, tapi bukan untuk merendahkan dia"
"Udahlah, Syif. Saya pamit dulu, titip salam buat ayah kamu. Ini martabaknya, selamat berbuka puasa"
"Loh? Nggak jadi mampir? Padahal mau aku ajak makan malam bareng"
"Nggak usah. Saya malas dekat - dekat sama orang yang berpikiran sempit kayak dia. Saya mungkin bukan orang muslim, tapi saya juga tidak buta tentang islam. Bahkan saya yakin, Islam mengajarkan etika menasehati orang" ucapnya sinis sambil melirik tajam kearah Adam.
"Orang - orang kayak lo gini nih, yang bikin minoritas anti mayoritas jadi makin anti" Tegas kak Aji pada Adam sebelum melangkah pergi.
Setelah kepulangan kak Aji, giliran aku yang menatap tajam kearah Adam.
"Terima kasih atas nasehat kamu, tapi aku mohon tolong jaga omongan kamu. Kamu nggak punya hak apa - apa buat nge-judge orang lain. Kamu manusia, kamu punya akidah dan tata krama kan? Manfaatin, jangan bertingkah kayak orang nggak punya agama"
********
Helloo!!!I'm back!!
Thansk for reading!!!
Don't forget to vote and comment!!
Author note :
Maaf kalo part kali ini di akhir agak sensitif. Adam bukan representasi seluruh orang islam ya, Adam adalah ilustrasi orang - orang berpikiran sempit yang menganggap dirinya religius tapi bersikap apatis,intoleran,dan merasa dirinya paling benar.
Dan iya,kemarin saya nemu curhatan orang di twitter. Ceritanya dia Ldr beda tempat ibadah selama 4 tahun dan si cowok kayak ragu - ragu buat kenalin dia ke keluarganya.
Empat tahun. Wow, kuat bangeeettt!!!
Bye bye~
Salam manis,
Royalsjeno_
KAMU SEDANG MEMBACA
Dari Aji [Hidup Untuk Layat]
Fiksi Remaja[judul sebelumnya : LDR| Long Distance Religionship] Tentang takdir, cinta, dan sebuah seni melarikan diri. Dari Aji; "saya tidak ingin meninggalkanmu, tapi di sisi lain, saya juga ingin menyelamatkanmu"