Untuk, Aji.
Kak, aku nggak bisa nulis kata - kata bagus kayak kamu. Yang penuh makna dan cinta, yang penuh rasa walau hanya goresan tinta.
Kak, kemarin Adam datang. Menghiburku yang sedang menangis, padahal aku pengennya itu kakak.
Kak, aku kangen.
Kakak dimana?
Katanya sayang, tapi kenapa menghilang?
********
"Kak Aji!! Udah selesai?""Bentar, ya. Lagi persiapan buat natal besok. Kamu nggak papa 'kan nunggu lama?"
Aku hanya mengangguk dan tersenyum.
"Aji!!"
Aku hanya memutar bola mata malas ketika melihat kak Agnes merangkul lengan kak Aji.
Aku tau, kak Aji hanya menganggap kak Agnes teman, tapi kak Agnes tidak. Sesama perempuan aku bisa melihat jelas bagaimana perasaan kak Agnes.
Aku bukan hanya cemburu, aku juga takut. Kak Agnes tidak memiliki jarak tak kasat mata, tidak denganku yang terbentang jarak sejauh fajar dengan senja.
"Jiii, ayo latihan. H min berapa ini? Lo belum hafal lagunya juga"
"Bentar, Nes. Gue mau ngobrol bentaaar aja sama Syifa. Kasihan daritadi nunggu"
"Oh oke"
Tak lama Kak Agnes pergi. Ini yang kusuka dari kak Aji, dia ini tegas. Mengatakan tidak untuk tidak, dan iya jika dia ingin.
"Kak, latihan dulu gih" suruhku sambil melepas tangannya yang melingkar di pundakku.
"Nggak mau. Saya lagi kangen peluk - peluk kamu"
Aku tertawa, sedikit aneh rasanya ketika kak Aji memelukku erat dari belakang.
Tidak seperti biasanya.
"Kak, nggak enak dilihat orang"
"Nggak enak karena mereka iri"
Aku tertawa. Kak Aji sepertinya sedang bahagia hari ini.
"Kak, besok kayaknya aku nggak bisa dateng ke rumah kakak, deh"
Kak Aji melepas rangkulannya, menatapku dengan kecewa.
"Kenapa? Padahal saya mau kenalin kamu ke keluarga besar saya"
Sebenarnya aku ingin, hanya saja ayah melarangku pergi entah apa alasannya.
"Maaf kak. Kata ayah besok ada tamu"
"Siapa? Adam?"
Eh?
"Syif, boleh saya ngomong ini?"
"Sebenernya, saya takut. Saya takut kalo tiba - tiba kamu pergi dari saya. Saya takut kalo kamu tiba - tiba merasa capek dan menghilang begitu saja. Saya.... Takut kalo nanti rumah yang kita bangun dengan susah payah, harus runtuh begitu saja"
Aku menggeleng, tidak mungkin aku pergi jauh dari dia
"Sttt... Kak, aku nggak bakal pergi dari kakak. Kalopun aku mau pergi, kenapa nggak aku lakuin dari dulu? Kak, kita sama - sama tau, kita berdua udah melangkah sejauh ini. Nggak mungkin kalo aku harus putar balik"
Kak Aji diam, sekarang dia hanya menatap langit kosong Jakarta.
"Saya takut kalo Adam datang, lalu kamu pergi. Jarakmu dengan jaraknya tidak sejauh jarakmu dengan jarak saya. Mungkin hanya sebatas Indonesia dengan Turki, sedangkan saya? Jaraknya tak kasat mata hingga tidak bisa diprediksi jauhnya"
Tapi kita berdua tau, walau tak kasat mata, jarak itu cukup terbentang luas. Dinding itu terlalu tebal
"Kak, percaya sama aku. Aku nggak akan pergi ninggalin kakak gitu aja. Aku janji sama kakak"
Kak Aji tersenyum, mungkin sekarang ketakutannya mulai berkurang. Mungkin, ia ingat esok hari natal. Dan mungkin ia lupa, kalau aku tidak bisa menghadiri pesta natal di rumahnya.
"Syif, saya latihan dulu ya. Bye"
"Byee"
Aku melambaikan tangan kearahnya yang berlari memasuki ruangan tempat mereka latihan.
Benar, untuk meninggalkannya aku tak akan pernah mampu. Sudah dua tahun berlalu tapi rasanya masih sama, tidak berubah dan tidak berkurang.
Jarakku dengannya sejauh Fajar dengan Senja. Walau seirama dan satu semesta, Fajar dan Senja tidak pernah dizinkan untuk bersatu.
*******
Hari ini tanggal 25 Desember, hari dimana kak Aji akan tertawa dan tersenyum sepanjang hari. Dibalik pertikaian dan pertentangan haram seorang muslim mengucapkan 'selamat natal', ada aku yang sekarang sibuk memberikan ucapan natal kepadanya.
Aku ingat ucapan kak Aji semalam tentang larangan merayakan hari natal di salah satu daerah di sumatera.
"Sebenarnya, jika mereka nggak mau ikut atau mengucapkan. Ya, silahkan, tapi jangan larang kami untuk merayakan hari besar kami. Saya tau kok, dalam Al - Quran Tuhanmu tidak akan menyuruh hamba-Nya untuk mendiskriminasikan umat lain"
"Saya nggak minta diucapkan. Saya hanya minta biarkan saudara seagama saya merayakan hari besar kami"
"Aneh, padahal mengucapkan atau tidak itu urusan pribadi. Tergantung niat 'kan syif? Urusannya hanya sepele, yang ingin mengucapkan silahkan mengucapkan, yang tidak ingin ya sudah, silahkan tidak mengucapkan"
Aku tersenyum mendengar ocehannya semalam, sepanjang jalan ia hanya mengoceh tentang haram atau tidaknya seorang muslim mengucapkan 'selamat natal', dia dengan segala ocehan dan pemahamannya.
"Kak Aji!!! Selamat Nataaal!! Wish joy and prosperity always with you and your family"
"Makasih, syif. Hari ini beneran kamu nggak bisa datang?"
"Iya, kak. Maaf yaaa"
"Sebenarnya sedikit kecewa, tapi nggak papa. Mau kamu dateng apa nggak, asal kamu masih berpijak di bumi, saya bahagia"
Aku tertawa kecil, tingkahnya masih manis seperti biasanya.
"Syif, bentar ya. Acaranya mau dimulai. Byeeee"
"Byeee"
Huftt... Begini rasanya ternyata. Ayah melarangku datang ke acara pesta natal kak Aji, melarang mengucapkan 'selamat natal' karena ucapan orang - orang yang berpendapat
'orang yang mengucapkan selamat natal adalah kafir'
Perspektif yang menurutku sedikit tidak masuk di akal
Kak Aji
Syif, nanti kalau udah selesai misa sama pensi, aku kirim fotonya
Syifa
Okeee, kak
Selamat Natal, kak Aji. Semoga kesejahteraan dan kebahagiaan selalu menyertaimu.
*********
Yang penasaran foto Aji. Diatas itu foto dia pas lagi pensi.
Selamat Natal untuk kalian yang merayakan, semoga kalian selalu bahagia.
Salam manis,
Royalsjeno_
KAMU SEDANG MEMBACA
Dari Aji [Hidup Untuk Layat]
Teen Fiction[judul sebelumnya : LDR| Long Distance Religionship] Tentang takdir, cinta, dan sebuah seni melarikan diri. Dari Aji; "saya tidak ingin meninggalkanmu, tapi di sisi lain, saya juga ingin menyelamatkanmu"