23. Langit dan Rindu

3.5K 584 15
                                    

Syifa merebahkan tubuhnya pada kasur empuk berlapis kain warna abu - abu. Gadis itu menatap langit - langit kamarnya, lalu menggeliat. Kakinya bergerak resah, daritadi gadis itu hanya menggenggam ponselnya yang menampilkan ruang obrolannya dengan Aji. Selama dua hari ini, ruang obrolan itu kosong. Tidak ada pesan maupun panggilan dari lelaki yang entah kenapa ketidakhadirannya mampu membuat gadia itu uring - uringan.

Gadis itu memejamkan matanya, menahan keinginannya untuk menekan simbol telepon yang terletak di pojok kanan layar ponselnya. Sebenarnya ia rindu suara Aji, tetapi gadis itu ingat akan permintaan Aji dua hari yang lalu. Sepertinya, ia harus menahan rindu sampai Aji wisuda agar lelaki itu dapat meraih cita - citanya secepat mungkin.

Gadis itu melirik nakas yang terletak tak jauh dari tempat tidurnya, disana ada beberapa figura. Ada foto ayahnya, ibunya dan juga Aji, tiga orang yang menempati letak spesial di hati Syifa.

"Kak Aji sekarang lagi ngapain ya?"

Gadis itu menghela napas, lalu meraih salah satu figura yang berisi foto ibunya.

"Bunda, aku mau cerita. Pacarku sibuk ngurusin skripsi dan katanya aku jangan ketemu dia dulu sampai dia selesai skripsinya. Menurut bunda aku harus nurut apa nggak? Karena nggak tau kenapa perasaanku nggak enak akhir - akhir ini"

Syifa terus memandang foto ibunya yang tersenyum hangat selama sepuluh menit sebelum akhirnya menaruh kembali figura itu pada tempatnya. Gadis itu kecewa karena tidak ada jawaban dari ibunya, gadis itu sedang butuh teman cerita hari ini, tetapi orang yang biasanya ia jadikan tempat bercerita dan membuat cerita sedang berkelana pergi entah kemana.

Gadis itu berdiri, melangkah menuju jendela kamarnya yang masih terbuka lebar. Gadis itu menatap langit kelabu yang tertutup asap, lalu pandangannya turun kearah jalanan komplek yang begitu lenggang. Jalanan itu berbanding terbalik dengan kepala Syifa hari ini, kepalanya begitu berisik. Kepalanya sedang berkecamuk pikiran - pikiran dan suara - suara aneh yang entah berasal darimana, suara - suara yang mengundang pemikiran - pemikiran buruk yang entah darimana sumbernya.

Entah sudah keberapa kalinya gadis itu menghembuskan nafas lelah, Syifa menyibak rambutnya yang tertepa angin lalu menutup jendela kamarnya ketika angin dingin mulai menusuk kulit halusnya.

Pikirannya terlempar hari dimana pertama kali ia dan Aji saling menautkan jemari dan berjanji tidak akan melepas sampai Tuhan yang meminta. Namun, mereka berdua sama - sama tak tahu, kapan Tuhan akan menyuruh mereka untuk saling melepaskan dan mengikhlaskan.

**********

Aji menatap pantulan dirinya di cermin, air masih menetes dari pelipisnya. Pemuda itu menelisik wajahnya yang masih basah, tangannya bertumpu pada wastafel. Luka lebamnya sudah memudar, tetapi luka di hati dan sesaknya tak kunjung menghilang. Aji menghela napas, ingatannya terus kembali memutar hari dimana Aji meminta Syifa untuk menjauh sesaat. Jika dipikir alasannya terlalu tidak logis, fokus skripsi padahal skripsinya sudah hampir selesai.

Pemuda itu mendengar pintu kamarnya terbuka, bukannya berniat keluar dari kamar mandi pemuda itu malah memilih menyalakan keran airnya. Mengabaikan panggilan seseorang yang menjadi alasan utama kenapa ia harus menjauhi Syifa.

Pemuda itu menatap kosong kearah air yang meluber keluar dari wastafel, mungkin air itu bisa menjadi representasi akan pikirannya. Terlalu penuh tersimpan di kepala hingga akhirnya keluar, tapi bukannya habis malah terus terisi.

Merasa puas merendam tangannya di wastafel hingga pucat, Aji mematikan keran dan membuka penutup wastafel agar air itu mengalir ke selokan.

Aji membuka pintu kamar mandi dan hal pertama yang ia lihat adalah Agnes yang sedang duduk di tempat tidurnya sembari membaca buku 'Filosofi teras'. Aji menghela napas, berjalan tak acuh melewati Agnes untuk mengambil kaus di lemari pakaian lalu memakainya.

Dari Aji [Hidup Untuk Layat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang