OH! Hai, Hello...

7K 731 5
                                    

What is life but a series of leaving and being left.

Dua minggu, waktu yang telah dihabiskan Gitani ditempat yang baru. Sudah lebih dari sepuluh meeting, pengecekan plant, revisi ini itu, deadline, serta acara ini dan perlahan mulai menyita seluruh waktunya.

Sebagai bagian Engineering, Procurement & Construction yang berada dilokasi pembangunan langsung, praktis dia harus dapat menangani semuanya. Dua minggu sudah lebih dari cukup untuk mulai merasakan tekanan kembali.

Gitani keluar dari kamarnya, dengan membawa satu pack bir berisi enam kaleng yang diletakkan diatas meja ruang tamu dengan sebuah tumpukan kertas bertuliskan IEE report diatasnya. Dia berjalan menjuju pojok ruangan dimana terdapat sebuah televisi lima puluh dua inch lengkap dengan soundbarnya. Gitani menyalakan soundbar dan menghubungkannya dengan spotify dari ponselnya.

Lagu Ti amo sayup sayup mengalun lembut memecah keheningan malam diiringi semilir angin dingin yang menggoyang goyangkan pohon kelapa di halaman. temaram lampu taman berwarna keemasan menambah sendu suasana malam itu, terlebih daun dan rerumputan basah sisa hujan sore tadi.

Gitani membuka kaleng bir menyesap sedikit kemudian duduk di kursi kayu dengan mengangkat kakinya bersila. Tepat depan kamarnya ada satu kamar lagi yang hanya dipisahkan dengan ruang tamu yang saat ini ia duduki. Sudah dua minggu ini dia tinggal, tapi sama sekali belum pernah bertemu dengan penghuninya. Gitani tahu jika di dalamnya ada penghuninya, karena setiap malam di kamar itu semua lampu menyala, terkadang pagi pagi sekali sering kali terdengar suara pintu terbuka kemudian terkunci setelahnya, namun tak sekalipun bertemu dengan pemiliknya. Gitani memandang pintu kamar itu cukup lama, antara penasaran atau tidak peduli tak ada yang tahu apa yang ada di benaknya. Dia hanya memandanginya, tatapan yang tak bisa diartikan.

Gitani menghela nafas, tersadar dari lamunanya. Kemudian menyesap bir ditangannya hampir tandas.

Matanya kembali pada bendel kertas di meja. Saatnya kembali bekerja, begitu pikirnya. Hingga kemudian seorang pria tiba tiba datang berjalan ke aarahnya, bayangan pada jalan setapak diantara halaman rumput yang terpantul dari cahaya lampu taman menyita perhatiannya. Matanya terpaku mengikuti sosok yang berjalan semakin mendekat kearahnya. Seorang pria, mengenakan kemeja putih pas badan yang sudah tidak rapi lagi, beberapa bagiannya telah kusut. Menenteng briefcase warna coklat mewah, dia berjalan kearah pintu di depan Gitani yang menganggukkan kepala sebentar menyapanya. Refleks Gitani menegakkan duduknya, masih memegang kaleng bir miliknya, membalas anggukan kepalanya dengan senyum canggung dan lagu Phoenix masih mengalun lembut sebagai latar suasana aneh diantara mereka, meninggalkan ekspresi terkejut yang masih menghiasi wajahnya.

Tiga puluh menit kemudian, setelah menghabiskan bir keduanya Gitani bersiap masuk kedalam kamarnya, ketika tiba tiba sebuah suara meghentikannya.

"kamu sudah selesai?"

"oh.." ucap Gitani terkejut, "sepertinya, kecuali ada yang mau menemaniku" Jawab Gitani tersadar dari kekagetannya.

Laki-laki itu melangkah ke arahnya membiarkan pintu kamarnya terbuka, hingga Gitani dapat sedikit mengintip keadaan kamarnya. Rapi, sangat rapi.

Aroma sabun segar menguar dari tubuh laki-laki itu, rambutnya masih setengah basah. Sepertinya dia baru saja selesai mandi.

"Reangga Perkasa" ucapnya kemudian duduk di bangku sebelah Gitani, menghadap ke pekarangan depan sama seperti yang dilakukan Gitani.

Pria muda tinggi dengan badan proporsional. Matanya tegas dibingkai alis hitam lebat, tatapan mata dingin namun tidak bengis. Dingin yang sunyi. Tatapan mata yang mengandung rasa penasaran siapapun yang melihatnya.

"Gitani Subianto" jawab Gitani memberikan sekaleng bir miliknya, kemudian mengambil sekaleng lagi untuk dirinya sendiri, bir ketiganya.

"Thanks" ucapnya singkat.

UNDER CONSTRUCTIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang