3. Pulang Sore

136 83 139
                                    

Semenjak kejadian tilang beberapa hari yang lalu Aira tidak pernah berangkat atau pulang sekolah bersama keempat sahabatnya. Dan semenjak itu pula ia berangkat ke sekolah dengan ojek online dan pulang dengan angkutan umum ataupun sebaliknya. Sebenarnya ada mobil sekaligus supir yang siap mengantarkan Aira pergi ke sekolah. Tapi gadis itu tidak mau merepotkan supirnya yang juga harus mengantarkan mamanya berpergian.

Setiap pagi Aira selalu meminjam ponsel milik mamanya untuk memesan ojek online. Kali ini Aira kembali menunggu ojek online di teras rumahnya. Sudah hampir tiga puluh menit Aira menunggu, tapi ojek tidak kunjung datang. Ia malas menanggu resiko jika harus terlambat hari ini.

Tinn...Tinn...

Bunyi klakson itu membuat Aira berdiri dan keluar dari pekarangan rumahnya. Benar dugaanya itu adalah ojeknya.

"Tumben lama pak? Kalo saya telat gimana coba, Pak?" Tanya Aira sambil memakai helemnya.

"Maaf ya Mbak, tadi saya salah jalan," ujarnya sambil tersenyum malu. Aira hanya mengangguk dan mengintruksi agar segera melaju.

Jalanan pagi ini sedikit macet membuat Aira menghembuskan nafasnya gusar. Keputusannya untuk naik ojek ternyata bukanlah keputusan yang tepat. Sudah ia prediksi bahwa hari ini ia akan terlambat lagi.

Dan benar saja, sesampainya ia di sekolah gerbang memang telah ditutup. Aira berjalan menuju gerbang dengan wajahnya yang pasrah. Ternyata tidak hanya ia yang terlambat, ada seorang siswa dengan motor sport merahnya yang juga terlambat.

Sudah berulang kali Aira merayu satpam agar pintu gerbang dibuka. Tapi rayun-rayuan mautnya tidak mempan, sampai akhirnya Pak Junaidi datang. Lelaki paruh baya tersebut menatap kedua muridnya yang terlambat.

"Kamu lagi Arka, tidak bosan terlambat?" Pertanyaan pak Junaidi diabaikan oleh Arka.

Kini guru BK itu menatap Aira "Kamu juga. Mau ikut ikut jadi anak bandel?"

"Ya enggak lah, Pak. Saya kan anak baik," bela Aira pada dirinya sendiri.

Tanpa menunggu penjelasan dari kedua muridnya, Pak Junaidi membuka gerbang. Mereka berdua dipersilahkan masuk dan diberi sambutan oleh lapangan beserta tiang bendera. Iya, mereka diberi hukuman berjemur sambil hormat kepada bendera.

Tanpa berkomentar mereka berdua langsung mengambil posisi. Tapi, setelah Pak Junaidi pergi Aira tidak henti-hentinya menggerutu.

"Ngapa sih gue apes mulu. Punya dosa apa coba? Mana memory card enggak ketemu, padahalkan di situ ada tugas yang harus disetor besok. Bisa abis gue dimakan Pak Septo," gerutunya lirih, tapi masih bisa didengar dengan jelas oleh Arka.

"Kalok ada Doraemon di sini, gue minjem deh sama dia mesin putar waktu. Dan gue gak bakal minta tolong Si Sialan buat bantuin gue manjat pager," ucapnya panjang lebar tanpa menghiraukan keringatnya yang bercucuran.

"Lo bisa diem gak? Kalo mau curhat jangan sama tiang bendera, dia gak bakal ngerti bahasa lo," ucap Arka yang mulai jengah mendengar ocehan Aira.

"Terserah gue lah," balas Aira ketus.

Tubuh Aira yang semula terasa panas karena sengatan matahari kini berubah menjadi sedikit teduh. Bayangan seseorang dari belakangnya menghalangi sinar matahari yang menyengat gadis itu. Aira menoleh kebelakang, melihat bayangan siapa yang menutupinya.

Dilihatnya Arka yang melangkah mundur sehingga bayangan lelaki itu menutupi dirinya. Pemikiran Aira menyimpulkan bahwa Arka berniat menutupi dirinya dari sinar matahari. Batin Aira pun bertanya, untuk apa lelaki itu melakukannya?

"Lo ngapain mundur? Enggak usah neduhin gue," tutur Aira sembari memandang Arka.

"Gue ngelakuin ini karena..." Arka menjeda ucapannya, membuat Aira menunggu kata selanjutnya. Ia menundukkan kepalanya, melihat ke arah lantai yang mereka pijak.

ForelsketTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang