12. Sekarang Tahu

80 44 39
                                    

Di ruangan yang begitu luas kini berdiri tiga orang yang diselubungi dengan emosi. Makian dan hinaan terus keluar dari mulut seorang lelaki. Lelaki itu tidak memperdulikan perasaan orang yang ia maki.

Sementara itu, yang dimaki berusaha mati-matian menahan emosinya. Ia menatap tajam orang di hadapannya. Ingin rasanya ia membalas semua perkataan itu, tapi ia tahu jika hal itu hanya akan memperkeruh keadaan.

"Bodoh! Kenapa kamu tidak menjemput adikmu?" Tanyanya penuh emosi.

"Arka udah kesana, Pah. Dia udah gak ada" Jelasnya berusaha setenang mungkin.

"Bohong kamu. Bilang saja yang sejujurnya kalok kamu emang gak jemput dia" Kini giliran wanita setengah baya yang berkata.

Arka menatap tajam wanita itu. Percuma saja ia mengatakan yang sebenarnya jika tidak ada yang percaya padanya. Apakah kalian tahu rasanya disalahkan padahal tidak bersalah? Itu yang Arka rasakan sekarang.

"Kalok Mama udah tau supir gak ada, kenpa Mama gak jemput dia dari tadi?" Arka menatap Mamanya yang terlihat gelagapan.

"Ya...ya Mama kan gak lagi di rumah. Ada acara sama temen-temen" Nadanya semakin memelan.

Arka tersenyum miring. "Hah egois. Mementingkan diri sendiri"

Plak

"Kakak!" Suara tamparan itu membuat seorang anak kecil memekik.

Ketiga orang dalam ruangan melihat ke sumber suara. Mereka melihat seorang gadis bersama anak kecil yang kini tengah berada di ambang pitu. Sejak kapan mereka ada di situ?

"Maaf, saya hanya mengantar Lira" Gadis itu berucap kaku.

"Bukannya lancang, lain kali jangan terlambat menjemput anaknya. Saya permisi" Dengan segera gadis itu melangkah menjauh dari pitu. Sebenarnya ia sangat penasaran dengan apa yang terjadi di dalam sana. Tapi ia cukup tahu diri untuk itu.

Sedangkan di dalam rumah besar itu anak kecil bernama Lira memeluk Mamanya dengan erat. Ia merasa sedih melihat kakaknya diperlakukan seperti itu. Ini bukan kali pertamanya Lira melihat kejadian seperti ini.

Arka mengambil langkah cepat meninggalkan ruangan. Dinaikinya montor merah yang terparkir di depan rumah dan keluar pekarangan. Arka melihat seorang gadis yang berjalan tak jauh darinya.

"Naik" Suara Arka membuat gadis itu berhenti.

"Gue bisa pulang sendiri" Dengan keraguan Aira menatap Arka dibalik helemnya.

"Siapa yang mau nganterin lo pulang? Gue cuma nyuruh naik" ujar Arka dan membuka kaca yang menutupi matanya.

"Gue nolak" Tetap saja Aira bersikeras untuk menolak.

"Gue maksa" Kata penuh penekanan.

"Gue bakal jitak kepala Lo kalok masih maksa" tegas Aira dengan wajah sinisnya.

"Gue gak perduli. Naik sandiri atau mau gue naikin?"

Beginilah Arka, yang hobinya memaksa orang lain. Membuat yang dipaksa naik pitam. Berulang kali Aira menolak, berulang kali juga Arka memaksa. Jadi, mau tidak mau Aira naik keboncengan Arka. Ia tida mau mengambil resiko jika Arka benar-benar nekat menaikkannya ke atas motor.

Di meja pojok Aira duduk berhadapan dengan Arka. Sudah sepuluh menit yang lalu mereka tiba di Quiet Cafe, tapi belum ada diantar mereka yang membuka percakapan. Aira yang tidak tahu harus mengatakan apa, memilih untuk menikmati makanannya.

ForelsketTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang