[6]. Need because of love?

1.8K 182 10
                                    

Richan masih duduk ditempatnya sembari terus mengetukan jarinya dimeja ruang tamu sampai akhirnya suara decitan dari pintu yang terbuka menyadarkannya dari lamunan.

Laki-laki dengan nama belakang Devloey itu langsung mengalihkan atensinya kearah seorang laki-laki dengan postur tubuh yang tidak terlalu tinggi yang tengah berjalan kearahnya.

"Dionza Xavier! Dari mana aja lo? Lama banget"

Dion melayangkan tatapan dengan salah satu alis terangkat, dia segera mengambil tempat duduk dihadapan Richan. "Lagi ada urusan"

"Urusan apa?" Tanya Richan, dahinya berkerut, menunggu jawaban dari Dion.

Rolling eyes adalah jawaban dari Dion atas pertanyaan yang dilontarkan oleh Richan, dia kembali beranjak dari tempat duduknya, melempar jacket yang sedari tadi membalut tubuhnya kebadan sofa.

Dion menenggak segelas air putih hingga tandas, lalu menatap Richan sembari tersenyum. "Sejak kapan kamu peduli dengan urusan saya? Biasanya juga kamu nggak mau tahu apa aja yang saya lakukan"

Richan berdecih. "Ya sudah, terserah lo aja! Mana obat gue? Yang dirumah sudah pada habis"

"Tunggu sebentar" Dion berjalan mendekati lemari yang menyimpan beberapa obat-obatan, lalu mengeluarkan sekotak obat-obatan khusus yang sudah disiapkannya untuk Richan.

Dion kembali mendekati Richan, namun kali ini dia mengambil tempat duduk disebelah Richan kemudian menyerahkan kotak obat itu kepadanya.

"Ini obat kamu, habiskan ja-" Ucapan Dion mengambang diudara karena sudah lebih dulu mendapatkan sahutan dari Richan.

"Iya. Kalau nggak habis mana mungkin sekarang gue masih hidup"

Dion menarik senyum tipis, menepuk bahu Richan secara perlahan. "Karena itu kamu harus melaporkan apapun yang terjadi ke saya. Oh iya, saya dengar kamu bertengkar lagi sama Ayah? Saya kan sudah bilang ke kamu, jaga emosi, jangan sampai tersulut cuma karena hal yang nggak penting"

Ucapan yang dilontarkan oleh Dion sontak membuat Richan melotot. "Bagian mana yang nggak penting? Si tua bangka itu bersikeras mau jodohin gue sama anak koleganya cuma untuk bisnis, gue bahkan nggak kenal sama tu cewek. Gue cuma mau bela diri gue sendiri, gue nggak mau terus-terusan dijadikan korban untuk bisnis sialan itu!"

Richan menarik napas panjang lalu mengembuskannya dengan kasar. "Lagi pula kenapa harus gue sih? Lo kan lebih tua dari gue, kenapa nggak lo aja yang dijodohin sama tu cewek?" Sambung Richan.

Dengan senyum tipis yang masih melekat diwajahnya, Dion sedikit merapikan beberapa helai surai hitam yang sedikit berantakan sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Richan.

"Karena aku bukan darah dagingnya"

"Cih. Terserah lo aja!"

.

.

Jarum jam sudah menunjukkan pukul 7 malam, sudah dua hari berlalu sejak kejadian yang terjadi dirumah orang tuanya. Rosie mencoba untuk fokus pada cerita yang dia buat, ujung pulpen yang terus mengeluarkan suara dari ketukan diatas meja mengisi kesunyian didalam kamar bernuansa putih biru itu.

Namun nyatanya masih kalah berisik dengan suara yang dilontarkan oleh Ayahnya, cacian-cacian itu terus memenuhi isi kepala Rosie, bergema hingga membuat kepalanya pusing.

Rosie menunduk, menggelengkan kepalanya mencoba mengusir suara yang menganggu konsentrasinya.

Sampai akhirnya suara dering dari ponselnya menginterupsi, setidaknya suara itu dapat membebaskan Rosie dari ucapan ayahnya yang tak berhenti terputar dikepala. Gadis bersurai blonde itu menghela napas berat, meraih benda pipih yang berada didekatnya.

Intricate✔️ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang