[19]. Endless

1.5K 162 35
                                    

Suara detak jantung yang berdetak 2 kali lebih cepat seakan bisa terdengar kepenjuru koridor rumah sakit, bersamaan dengan suara derap kaki yang terus berlari menuju ruang operasi.

Deru napas yang sudah tidak beraturan serta tungkai yang lemas tidak bisa lagi dipaksa untuk melangkah. Sekuat tenaga mengumpulkan kekuatan, menyeka bulir-bulir bening yang terus menerus keluar, perasaan bersalah, menyesal dan sedih beradu menjadi satu.

Semesta pun seakan turut merasakan apa yang saat ini Rosie rasakan, awan hitam bergerombol membentuk pasukan, menciptakan air yang begitu deras dari atas sana.

Rosie menelan saliva nya dengan susah payah, menyelipkan rambutnya kebelakang telinga, sudah tidak peduli lagi dengan make up yang sudah berantakan. Yang saat ini ada dipikirannya hanya Richan.

Ternyata harapannya untuk mendapatkan kabar baik harus tergantikan dengan kabar buruk yang diberi tahu oleh Dion, pria itu tampaknya sengaja menghubungi Rosie lebih dulu untuk mengatakan bahwa hari ini Richan harus menjalani operasi pengangkatan paru-paru.

Bagaikan tertimpa puluhan bahkan ratusan batu yang sangat besar, setelah mendengar kabar itu, Rosie pun langsung terduduk lemas, tak percaya dengan apa yang dia dapatkan.

Baju yang sudah lusuh oleh sisa-sisa debu yang menempel karena dia terus menerus terjatuh, enggan menerima kenyataan bahwa saat ini Richan harus melakukan hal yang seharusnya tidak dilakukan.

Semua kejadian saat Richan berada disebelahnya seakan terus berputar berulang-ulang dikepala, untaian kata cinta serta perlakuan yang sangat manis yang dilakukan Richan kepadanya pun terasa sangat menyakitkan.

Langkah kaki Rosie terhenti, 1 meter dari ruang operasi, Rosie bisa melihat dengan jelas, disana sudah ada Savano serta sepasang suami istri disebelahnya, Rosie tahu keduanya adalah orang tua dari Richan.

Savano yang kala itu tengah berdiri tepat didepan pintu pun menoleh, mendapati Rosie yang langsung menunduk lemas, seolah semua kekuatannya ditarik kedasar bumi, tidak sanggup menyapa apalagi kembali melangkah.

Dengan kedua mata yang seakan sudah sembab karena terus menangis, Rosie menengadah, melihat tubuh yang semula berada jauh didepannya kini telah berdiri dihadapannya.

Sialnya Savano masih tetap berusaha menunjukkan senyum manisnya, seakan-akan mengatakan bahwa tidak akan terjadi apa-apa, padahal sudah sangat jelas dan tidak bisa ditutupi bahwa saat ini wajahnya dipenuhi dengan kekhawatiran.

Air mata yang sudah tergenang dipelupuk mata pun kembali mengalir dengan derasnya, kedua tangan Savano pun terulur memeluk Rosie, mengelus punggung gadis itu dengan maksud menenangkan.

Rosie sudah tidak tahu lagi dengan keadaan sekitar, gadis itu menutup matanya dengan susah payah, mencoba menahan agar tidak ada lagi air mata yang keluar, tapi ternyata sia-sia, bulir bening itu terus menerus keluar lewat ujung mata sekalipun.

"Penyakitnya ternyata sudah serius. Kanker. Richan ternyata mengidap penyakit kanker paru-paru" Bisik Savano dengan sangat lembut tepat ditelinga Rosie.

Lagi. Dadanya kembali terasa sesak, kali ini ada ribuan batu yang berbondong-bondong datang hanya untuk menghancurkan perasaannya.

"Apa? Sejak kapan?" Suara gadis itu sudah terdengar sangat parau. Tidak tahu lagi bagaimana, saat ini Rosie benar-benar hancur.

Savano menarik napas panjang lalu melepaskan pelukannya. "Dia nggak bilang ke lo? Awalnya cuma sakit biasa tapi ternyata sampai serius begini, baik gue ataupun orang tuanya, nggak ada yang nyangka kalau penyakitnya bakal berakhir begini" samar-samar terlihat dikedua mata Rosie, iris hitam itu berkaca-kaca, seolah ada yang memaksa ingin keluar.

Intricate✔️ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang