[10]. Will never be the same

1.4K 157 33
                                    

Sejak kejadian restoran waktu itu, Richan jadi lebih banyak diam dan menyendiri, dia memikirkan perlukah dia berubah jika yang menuntut perubahan itu malah tidak peduli? Dia jadi seperti orang bodoh sekarang, bahkan dia masih menunggu pesan dari Rosie untuk menjelaskan walaupun kenyataannya tidak mungkin terjadi.

Sudah 3 hari berlalu, Richan masih ingin menyendiri, berbaring ditempat tidur ditemani kegelapan, gorden yang ditutup rapat dan pintu yang dikunci hingga tak ada satu pun makhluk hidup yang melihatnya bersedih.

Richan mengerjapkan matanya sesekali menatap langit-langit kamarnya dengan tatapan sendu, untuk apa lagi dia hidup jika dunia saja enggan memberikan kebahagiaan untuknya.

Semua kenangan yang telah tersimpan direlung hati bersama Rosie kini dia enyahkan jauh-jauh, Richan hanya tidak ingin terluka untuk yang kesekian kalinya.

Sudah cukup hidup tanpa ibu, ayah yang tidak peduli dan hanya menjadikannya layaknya sebuah alat untuk menaikkan saham perusahaan dan- ditambah lagi dengan penyakit sialan yang bisa merenggut nyawanya kapan saja.

Tanpa perlu bertanya apalagi bercerita, Richan menikmati semua itu dengan santai seolah tidak mengemban beban sedikitpun.

Sepertinya bicara pun sudah tidak ada gunanya, salah satu penyalur semangatnya sudah membuangnya jauh-jauh.

"Ibu. Kalau aku ikut denganmu gimana? Aku kangen banget sama ibu"

Richan menghela napas berat, sedikit tersentak karena mendengar ponselnya berdering dan menampakkan satu notifikasi masuk dari Rosie.

Terkejut bukan main, Richan langsung membuka pesan itu dengan perlahan, jaga-jaga jika pesan singkat yang dikirimkan oleh Rosie itu bukanlah seperti apa yang dia inginkan.

Richan sedikit memicingkan matanya kala membaca serentetan kalimat dari si pengirim yang diberi nama Rosiess dan diberi tambahan emotikon hati.

Rosiess: Bisa ketemu bentar enggak? Aku mau bicara soal kita. Kalau bisa aku tunggu dicafe tempat pertama kita nge-date, masih ingat kan? Jam 3 ya.

Sungguh. Seperti ada sengatan kecil didada Richan, sengatan kebahagiaan mungkin? Tidak tahu pasti, tapi sekarang Richan benar-benar senang karena setelah mereka memutuskan untuk berpisah Rosie berani mengirimkan pesan lebih dulu.

Peluang untuk kembali?

Tidak. Tidak. Richan tidak boleh berandai-andai terlalu over, dia harus belajar dari kesalahan yang telah terjadi, bukan apa-apa, hanya tidak ingin merasakan jatuh kelubang yang sama untuk yang kedua kalinya.

Richan juga masih ingat tentang apa yang telah dilihatnya direstoran kemarin, Rosie terlihat sangat bahagia, senyum melengkung dengan mata menyipit seperti bulan sabit dan- yang membuatnya tertawa waktu itu adalah Dion.

Richan berdecih, jemarinya dengan lincah mengetikkan sesuatu disana.

Richan Dev: Iya.

Setelah membalas pesan dari Richan, laki-laki bertubuh jangkung itu langsung melemparkan ponselnya asal, beranjak lalu meraih kunci mobil miliknya, kemudian keluar dari kamar dan turun kelantai dasar.

Richan yang sudah berdiri dianak tangga terakhir sedikit mengedarkan pandangannya, sorot matanya berhenti pada seorang laki-laki paruh baya yang kini tengah menyeruput air dari gelasnya.

Pura-pura tidak melihat, Richan terus berjalan melewati Siwon hingga dirinya menyadari bahwa setelah berhari-hari Richan mengurung diri, akhirnya dia muncul juga.

"Kamu mau kemana? Sudah mendapatkan jawabannya?" Tanya Siwon to the point.

Yang ditanya hanya menghela napas jengah. "Aku enggak ada waktu untuk memikirkan hal yang sama sekali enggak penting"

Intricate✔️ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang