Part 11

122 3 0
                                    

Beli berbunyi siswa siswi berhamburan keluar mamakai atribut lengkap, hari ini upacara bendera. Petugan upacara XI IPA1 regu paduan suara X5 itu artinya kelasku bersebelahan dengan kelas kak Andra. Ah ya soal gosip tentang kami sudah pasti jadi berita terkini setiap pasang mata selalu mengawasi gerak gerik kami. Untung aku sudah di breefing oleh keempat sahabatku. Biarkan mengalir dan ikuti alurnya, Oke aku siap mengikuti arah angin.

Aku berbaris di belakang maklum tinggi badanku tak seperti ke tiga sahabatku,mereka baris di depan.
Cuaca pagi ini cukup terik, membuatku gerah. Ku kibas kibaskan tanganku di depan wajah, keringatku juga mulai bercucuran. Aku mengelap keringanku dengan tangan, aku lupa tak membawa tisu. Namun ku rasa ada yang menghalangi sinar matahari menerpa ke arahku. Ku dongakkan kepala di depanku ada seseorang yang aku pastikan itu kak Andra. Aku teringat ucapan sahabatku "ikuti alurnya" oke Nara ini saat nya.

Aku menarik sisi kanan lengan seragamnya mangarahkan dia untuk geser ke kanan dengan posisinya sekarang wajahku terhalang sinar matahari dengan sempurna. Hingga upacara selesai dia tidak merubah posisinya. Dan yang pasti kejadian itu sudah menjadi breking news.

Kegiatanku seperti biasa tak ada yang beda, hanya saja lebih banyak yang memperhatikan. Orderan makan siang ku semakin bertambah, mungkin hikmah di balik ini semua. Saat jam istirahat ada beberapa titik yang biasa di gunakan siswa siswi nongkrog. Maklum di sekolahku di larang bawa hp kecuali setelah pulang sekolah.

Setelah berkeliling mengirim pesanan aku menuju masjid sekolah untuk sholat dhuha kulirik masi ada waktu 15 menit lagi sebelum bel masuk. Aku bukan anak yang alim, aku sama seperti remaja lainnya hanya saja aku tak bisa meninggalkan sholat 5 waktu, itu seperti paten dalam hidupku. Kalau dhuha saat waktu memungkinkan aku melaksanakannya kadang waktu istirahat ku habis untuk keliling mengantar pesanan yang belum di ambil.

Mama selalu bilang sesibuk apapun jangan sampai tinggalkan sholat, kita punya waktu berjam jam mengurusi duniawi, sempatkan 15 menit untuk tunduk pada sang pencipta.

Jika boleh memilih aku ingin sekali mondok, mendalami ilmu agama. Tapi aku tau biaya mondok cukup besar, banyak yang mengatakan anak yatim gratis mondok di pondok sana. Tapi tak ada yang memberikan informasi lebih dalam tentang itu. Sampai saat ini aku juga masih ngaji di TPQ, bukan TPQ formal yang ada ujian dan wisuda hanya di rumah pemuka agama saja. Tapi banyak ilmu yang di berikan. Tak hanya mengaji Al-Qur'an saja tapi juga kitab. Memang tak sedalam saat mondok, hanya dasarnya saja tapi bagiku itu sudah pondasi kuat untuk kedepannya.

Juan adikku sepertinya dia antusias sekali untuk mondok. Dia menyiapkan diri sejak dini. Dia suka sekali puasa terutama di bulan Rajab. Sejak Umik guru ngaji di TPQ menjelaskan keutamaan puasa Rajab, dia selalu menantikan datangnya bulan tersebut. Tak hanya itu ketika Umik menceritakan kelak di Akhirat seorang Hafidz Al-Qur'an akan memberikan mahkota pada orangtuanya di surga, mahkota yang indah melebihi keindahan mahkota Raja dan Ratu di dunia Juan bersemangat menghafal. Di usia 11 tahun dia sudah hafal 15 juz. Dia menjadi murid kesayangan abah dan umik, tak hanya itu dia juga menjadi kesayangan keluarga,bahkan tetangga pun juga. Juan kecil kami yang selalu menjadi kebanggaan semua orang, tapi tidak di keluarga ayahku.

Di mata mereka kami tidak ada apa apa nya hanya nenek Ayu dan om Hariz yang bisa terbuka. Saudara ayahku yang lainnya selalu memandang rendah seolah kami hanya lalat rusuh yang mengganggu. Ku ingat bagaimana mereka membanggakan anak anaknya yang lulus sarjana, bekerja hingga bisa membeli barang mewah. Mereka saling membanggakan anak mereka.

"apa aku berarti untuk kalian?"
"apa yang harus aku lakukan agar aku pantas berada di tengah-tengah kalian?"
"Apakah aku berarti untuk kalian jika dalam namaku tersemat kan gelar disana?"
"Apakah aku pantas di tengah-tengah kalian jika aku memiliki banyak uang?

Mataku memanas dan mulai berair.
Sekarang aku menata ulang niatku, aku harus bisa kuliah menjadi sarjana untuk mengangkat derajat mamaku.
Bekerja dengan gaji besar agar aku di anggap sepadan dengan mereka.
Bukan untuk menyombongkan diri, tapi untuk pembuktian.
Sindiran dan cemoohan mereka akan ku balas dengan keberhasilanku kelak.

"Mama doakan anakmu ini ma, Aku tidak ingin mereka merendahkan mama."
"Juan ayo kita berusaha dek, kita angkat derajat mama. Kita bungkam hinaan mereka dengan hasil gemilang yang kita raih" gumamku lirih.
Kuusap air mataku, ku lipat mukenah dan ku kembalikan dalam lemari di pojok belakang. Aku memakai sepatu dan berlari kecil menuju kelas ku di lantai 2,sebentar lagi bel masuk aku tak ingin terlambat masuk kelas.

Mawar HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang