1. Skripsi Oooohhh Skripsi

110K 5.3K 351
                                    

Jeng...jeng...jeng

Tes ombak dulu, Say. Kalau oke dilanjut ya....

"Latar belakang yang kamu buat terlalu melebar. Belum spesifik. Coba kamu telaah lebih cermat lagi!" Pak Galih berbicara sembari sibuk mencorat-coret skripsi bab satuku. Mau nangis. Kayaknya bab satuku belum akan diacc. Padahal ini sudah keempat kalinya aku mengajukan revisi. "Tiga hari lagi kamu bawa revisianmu ke saya."

Pak Galih mengembalikan kertas penuh coretan itu padaku dengan wajah lempeng. Benar-benar! Nggak ada kata mudah jika berhadapan dengan dosen mata kuliah sosiologi hukum satu ini. Sejak tahu kalau pembimbing skripsiku adalah Pak Galih, aku menggatungkan hidupku pada keberuntungan. Selesai tepat waktu saja rasanya sudah sujud syukur.

Aku mengambil kertas itu tanpa banyak protes. Argumenku sudah habis sejak revisi ketiga nggak dia acc. Rasanya mau nangis saja sambil guling-guling di depan ruang dosen. Dari sekian banyak dosen yang mengajar di fakultas ilmu sosial dan politik, kenapa dosen pembimbing skripsiku harus Pak Galih? Kenapa? Kenapa? Kenapa?

"Muke atau keset selamat datang? Kusut amat." Aku melempar kertas revisianku ke atas meja kantin tanpa mempedulikan celotehan Bimo. Aku beranjak sebentar untuk memesan makan siang sebelum kembali bergabung dengannya. "Ini apaan?" tanyanya sambil melambaikan kertas penuh coretan jahanamnya Pak Galih.

"Bungkus tempe," jawabku ketus. Bimo terkekeh.

"Apes banget hidup lo, Ren. Kurang sajen sih, Lo," ejeknya tanpa perasaan.

"Nggak usah songong!!! Coba lo tukar posisi sama gue? Mau jadi mahasiswa benar saja susahnya minta ampun," keluhku sembari menyeruput es jeruk.

Bimo ngakak. "Untung pembimbing gue Pak Gondho. Galak-galak begitu, selooowww."

"Gue mau nangis beneran. Ini sudah tiga bulan. Lo saja sudah mau sidang proposal." Mau mewek saja. Hidup ini sungguh nggak adil.

"Rezeki anak solehah, Ren. Meskipun nyinyir, lo tetap dapat siraman rohani setiap bimbingan sama Pak Galih."

"Mamah Dedeh kali ah," kataku nggak minat. "Ganteng-ganteng kok nyinyir. Pantas saja seret jodoh."

"Yeee.... kayak yang ngomong nggak saja." Bimo menggeser piring kosongnya menjauh. "Kenapa nggak coba tanya Bu Naima saja? Siapa tahu lo dapat pencerahan."

Aku seperti kejatuhan es satu kontainer. "Kok lo nggak bilang dari tadi, sih?" Aku buru-buru mengetikkan pesan pada Bu Naima. Janjian minta ketemu untuk mendapatkan siraman rohani yang sesungguhnya.

"Memang dasarnya saja lo nggak ada otaknya," kata Bimo nggak berperasaan.

Aku mendengkus. Bu Naima ini dosen legend di fakultasku. Pinternya kebangetan, baiknya juga kebangetan. Tiga kali masuk mata kuliahnya, nilaiku nggak pernah kurang dari A. Berbanding terbalik dengan si Pak Galih. Satu kali doang masuk mata kulihnya dapat nilai B-. Padahal tugasnya.... Tuhan tahu kalau aku sampai harus stok kopi banyak-banyak saat mengambil mata kuliah Pak Galih.

"Gengs, besok kalian berdua harus datang ke seminar proposal gue." Dito datang-datang membawa kabar buruk.

"KOK CURANG!!!!!!!" Aku misuh-misuh. "Gue bab satu saja belum diacc," kataku sedih.

"Mon maap deh, Ren. Mana gue tahu kalau lo masih belum jalan ke mana-mana." Dito ngakak. Aku semakin nelangsa. Padahal kami ini satu pembimbing, tapi kenapa nasibnya bisa kayak langit dan bumi gini?

"To, mau nangis beneran." Aku memasang wajah nelangsa. Bimo yang duduk di sisiku, menepuk-nepuk bahuku pelan sembari tertawa-tawa.

"Sabar, Ren. Orang Sabar kuburannya lebar," katanya unfaedah.

Pesona Rasa (OPEN PO)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang