ヾ(*'O'*)/✧\(>o<)ノ✧♪~('ε` )└( ^ω^)」(「'・ω・)「♪(┌・。・)┌ヘ( ̄ω ̄ヘ)ƪ(‾.‾")┐ƪ(˘⌣˘)ʃCaca masuk ke dalam mobil dan langsung bertanya, "Tata, kenapa?" Lengannya memeluk pinggangku dan kepalanya mendongak, menatap khawatir.
"Meriang dikit, Ca."
Dia langsung memasang wajah sedih. "Pucat banget," katanya kemudian.
"Masa?" Aku mencoba mengaca pada layar ponsel. Memang lumayan pucat sih.
Caca mengangguk. "Nanti, Caca tidur sama Tata aja, ya! Biar Tata, Caca yang jaga."
Aku terharu memandang Caca. Kalimat yang dia ucapkan tadi adalah kalimat terindah yang pernah mampir ke telingaku. Aku yakin, rasanya pasti lebih romantis dari sekedar ucapan cintanya Romeo ke Juliet.
Kukecup keningnya dan kukatakan, "Iya. Makasih, Caca." Kemudian berpelukan, hingga sampai di rumah.
#
"Tadi ujiannya gimana, Ca?"
"Baik dong, Papi. Lancar deh."
Aku tersenyum mendengar obrolan Mas Dharma dan Caca. Mereka sedang duduk melipat kaki di ranjang sebelah kanan, sedangkan aku berbaring miring menghadap mereka di ranjang sebelah kiri. Mas Dharma hari ini tumben-tumbennya pulang pukul delapan malam. Yang berarti dia bisa berbagi cerita dengan Caca sedikit lebih lama.
Kadang aku merasa kalau dengan jam kerjanya yang terlalu sibuk itu, Mas Dharma agak mengabaikan Caca. Walaupun, kenyataan sebenarnya, dia akan mencuri-curi waktu-sesingkat apa pun-untuk mengobrol dengan anaknya. Kalau dia pulang lebih awal seperti sekarang ini, maka setelah membersihkan diri, dia akan langsung menemui Caca, bertanya mengenai apa saja yang dilakukan oleh anaknya hari itu. Namun, jika dia pulang larut, maka pagi hari-sebelum sarapan pagi-dia akan masuk ke dalam kamar Caca, menyisir rambut anaknya sambil berbagi cerita mengenai kegiatan-kegiatan yang akan mereka lakukan hari itu.
"Bagus." Mas Dharma tersenyum sembari mengusap puncak kepala Caca.
"Papi, gimana?"
"Lumayanlah."
"Caca tidur sama Tata ya, Pi!" pinta anak itu dengan manis.
"Iya."
"Tata keringetan lho, Ca, nanti kamu ikut basah." Mengingat keringatku yang luar biasa hari ini dan mengakibatkan aku harus berganti baju sebanyak tiga kali.
"Lha, orang aku yang lapin keringat, Tata." Caca mendekatiku dan barbaring sambil memeluk tubuhku. "Tata cepat sembuh, nanti nggak ada yang buatin aku bekal kalau Tata nggak sembuh-sembuh."
"Yaaah, maunya," kataku sambil mengecup hidungnya.
"Tata, jangan sakit." Dia menyusupkan kepala ke dadaku sambil mengeratkan pelukannya.
"Besok Tata sembuh." Aku melirik Mas Dharma yang melihat kami dalam diam, "Kan ada Papi. Kalau Tata nggak sembuh-sembuh, nanti kamu marahin tuh Papimu!" Mas Dharma tersenyum.
"Kalau kamu nggak sembuh-sembuh, ya masuk rumah sakit," balasnya nggak berperasaan.
"Jangaaaan!!!" Caca mendongak, cemberut.
"Nggak, nggak," kataku menenangkan.
"Sudah diminum obatnya?" Mas Dharma mendekati kami. Aku mengangguk. "Istirahat," katanya, kemudian mengecup bibir Caca-yang mengakibatkan wajahnya sejajar dengan dadaku-yang mengakibatkan aroma sampo yang dia pakai menusuk-nusuk indra penciumanku-yang mengakibatkan kepalaku rasanya tiba-tiba saja meringan. Dia keramas pakai endorphin, ya?
"Malam, Ca. I love you."
"I love you too, Papi."
"Malam, Ren."
"Malam, Mas."
Mas Dharma mengusap kepalaku pelan, sebelum akhirnya keluar dari kamar.
#
Aku melirik jam digital di atas nakas, samping ranjang. Pukul setengah sebelas malam. Yang artinya, aku sudah tertidur sekitar dua jam tiga puluh menit.
Badanku rasanya nggak karu-karuan. Bajuku basah dengan keringat, dan perut rasanya kayak dililit pakai tali tambang. Kencang dan sakit.
Caca masih memelukku. Nafasnya teratur. Dia tidur nyaris kayak orang mati. Pulas banget.
Pelan-pelan, aku mengurai pelukannya, berusaha melepaskan diri. Aku butuh ganti baju dan minum air putih. Beranjak ke kamar mandi, aku melepas seluruh pakaianku-termasuk pakaian dalam-dan menggantinya dengan yang baru. Kemudian aku turun ke bawah. Berniat ke dapur. Namun, urung kulakukan saat melihat Mas Dharma yang sedang hikmat menonton pertandingan sepak bola ditemani papa yang khusyuk tertidur di sampingnya.
"Mas!"
Mas Dharma menoleh. "Kamu ngapain?"
Lha, harusnya aku yang tanya begitu. "Kamu kali yang ngapaian? Sudah malam. Besok kerja," kataku galak.
Mas Dharma cuma cengengesan. "Tanggung. Lagi seru-serunya."
Wah, ngajak gelut. "Kamu tuh punya badan cuma satu ya, diawet-awet dong. Kerja keras bagai kuda, kalau punya waktu stirahat, ya istirahat. Dasar! Ngakunya dokter, tapi masalah begini saja harus dimrepetin dulu."
"Lima belas menit lagi," kilahnya.
Aku mendengkus. "Serah deh, serah." Lalu melanjutkan perjalanan menuju dapur. Saat sedang berusaha menghabiskan satu gelas besar air putih, Mas Dharma tiba-tiba saja menyeret kursi di sebelahku.
"Sudah kumatikan," katanya memperhatikanku. Aku melirihnya sekilas. "Jangan langsung dihabisin, nanti dadanya sakit."
Bodo amat!!!
"Ganti baju? Badannya panas, ya?" Mas Dharma masih berusaha.
Aku meletakkan gelas yang sudah kosong ke atas meja. "Iya."
Mas Dharma tiba-tiba saja menempelkan telapak tangannya ke dahiku. Dia melakukannya selama beberapa detik sebelum berkata, "Rawat inap saja gimana? Minimal, kamu bisa dapat cairan infus."
Hah? "Nggak ah," tolakku. "Obatnya juga belum habis." Berusaha agar Mas Dharma tidak memperpanjang argumen.
"Kamu kalau di rumah nggak total istirahatnya," bujuknya lagi.
"Total kok," kilahku.
"Sambil ngerjain skripsi?" Dia menaikkan sebelah alisnya, tanda nggak setuju.
"Kan, Senin harus jadi bab duaku."
"Cari alasanlah. Kamu 'kan pintar berkelit."
Dia pikir aku ini belut atau semacamnya apa?
"Aku sehat. Nggak perlu ke rumah sakit lagi."
"Semua orang sakit kalau ngomong begitu, aku nggak perlu kerja berarti."
"Dih, nyinyir nih?"
"Bukan nyinyir, tapi nyindir," katanya datar. Bisa ya dia ngomong begitu, tapi sambil pasang wajah biasa saja?
"Kamu nonton lagi aja gih, Mas," usirku.
"Kalau sampai besok masih begini, ke rumah sakit saja, kamu butuh infus."
"Hmm." Mas Dharma berdiri. Tanggung juga sih kalau cuma tinggal lima belas menit. Apalagi untuk penggemar sepak bola seperti Mas Dharma. Kalau sampai begadang begini, berarti pertandingannya seru atau mungkin yang main tim favoritnya.
Baru lima langkah menjauhiku, dia tiba-tiba berbalik. "Ren!" panggilnya.
"Apa?"
Dia hanya menatapku, tiga detik.
"Nggak apa-apa," katanya, kemudian berbalik pergi. Membuatku mengernyit. Dih, lama-lama, Mas Dharma tambah nggak jelas.
#
Selamat malam Minggu, Uwuwuwuuu
Mau gimana nih? Masih harus kita pantau lagi ヘ( ̄ω ̄ヘ)
KAMU SEDANG MEMBACA
Pesona Rasa (OPEN PO)
ChickLitProses Penerbitan Aku undang kalian untuk melihat kehidupan Renata Dwita (22) yang berkutat antara skripsi, Caca (sang keponakan), Mas Dharma (duda ganteng sekaligus sang kakak ipar), dan Pak Galih (dosen pembimbing skripsi yang rewelnya nggak karu...