13. Fase

33.7K 4.3K 330
                                    

Hari kedua di Labuan Bajo, aku memutuskan bahwa kami bertiga harus nyebur ke laut. Aku mengusulkan untuk snorkeling, tapi Mas Dharma maunya malah nyelam sekalian. Aku dan Caca jelas nggak punya lisensi buat menyelam, sedangkan Mas Dharma punya. Dia bilang, nggak masalah kalau kami nggak punya lisensi asal bisa berenang. Aku sedikit ragu. Caca setahuku belum pernah berenang di kedalaman lebih dari tiga meter-karena nggak ada fasilitas kolam renang di sekitar rumah yang menyediakan kolam sedalam lebih dari tiga meter.

"Aman nggak nih?" tanyaku khawatir. Kami sedang sarapan di balkon kamar yang menghadap langsung ke arah pantai.

"Aman." Mas Dharma menyuapkan sarapannya. Aku menghela nafas. Masih ragu. "Caca jago renang." Mas Dharma masih berusaha meyakinkanku.

"Tapi kita nggak kasih simulasi apa pun. Kalau kamu kasih tahu dari awal mau ngajak dia ke Labuan Bajo, aku pasti kursusin dia nyelam dulu. Paling nggak sekali, dua kali supaya dia familiar."

"Kasih Caca pengalaman yang menarik. Lagian, kita juga sama dia. Nggak yang dilepasin gitu saja."

Aku baru mau menyangkal, saat Caca tiba-tiba datang sambil memasang wajah ketakutan. "Tata!" Suaranya bergetar. Aku buru-buru menghampirinya dengan khawatir.

"Kenapa, Ca?" Kupegang kedua lengannya.

"Celana dalamku ada darahnya."

"Hah?" Aku masih loading.

"Ada apanya, Ca?" sahut Mas Dharma yang berdiri di sampingku.

"Ada darahnya, Pi," kata Caca pelan.

Aku akhirnya sadar dan tertawa dengan keras. "Astaga!!! Anak gue sudah abg." Kupeluk Caca erat sambil menciumi puncak kepalanya. Mas Dharma yang juga ikut paham menggaruk tengkuknya yang kuyakini nggak gatal. "Ca, tahu artinya nggak?"

Caca mengangguk. "Tahu, udah pernah diajarin di sekolah."

Aku menguraikan pelukan kami, kemudian menggenggam tangan Caca erat. Kutatap matanya dengan antusias. Mbak, lihat nggak? Anakmu sudah abg. Lalu merasa terharu begitu saja. Caca yang biasa kupeluk, yang biasa kuperlakukan seperti bayi, yang biasa manja dan meminta perhatianku, sekarang sudah memasuki tahap awal sebagai seorang gadis remaja. Aku tahu ini lebay, tapi aku rasanya benar-benar mau nangis. Nggak nyangka saja. Time flies. Tahu-tahu nanti Caca sudah besar dan minta kawin. Duh! Kok rasanya nggak rela.

"Ada pembalut, Ren?"

Aku menoleh pada Mas Dharma. "Nggak ada." Jadwal bulananku masih lama, jadi aku nggak persiapan bawa pembalut dari Jakarta. "Beli gih, Mas!"

"Di mana?" Mas Dharma terlihat kebingungan. Aku benar-benar mau tertawa dengan situasi kami saat ini. Caca yang baru saja dapat mens pertamanya, aku yang antuasias sekaligus khawatir, dan Mas Dharma yang baru sadar kalau anaknya mungkin sekarang benar-benar sudah menjadi seorang gadis, alih-alih anak-anak.

"Keluar dong," Aku menepuk lengannya, "Cari minimarket," lantas tertawa saat mendengar Mas Dharma menghela nafas dengan berat. "Fasenya belum seberat saat kamu harus jadi wali nikahnya nanti," bisikku padanya. Mas Dharma melotot, hampir-hampir mencekik leherku kalau Caca nggak di sini. Aku nggak bisa lagi menyembunyikan rasa geliku padanya. He's so adorable.

Untuk bapak satu orang anak perempuan yang kini menginjak masa remaja, Mas Dharma memenuhi semua ekspektasiku tentang manisnya seorang pria. Dan Caca beruntung punya dia.

#

Mas Dharma kembali dengan satu plastik besar berisi pembalut. Aku bahkan sampai melongo.

"Gila, Mas! Kamu beli semua pembalut di minimarket?" Aku tertawa melihat wajah kikuknya.

Pesona Rasa (OPEN PO)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang