MAINKAN!!!
"Muka pucet amat, Ren," tegur Bimo saat kami berpapasan di depan ruang dosen.
"Meriang gue." Sejak bangun pagi tadi, tubuhku memang rasanya sudah nggak enak. "Lo habis bimbingan sama Pak Gondho?"
Bimo mengangguk. "Pak Galih di dalem tuh."
"Tahu. Sudah wa duluan tadi," kataku.
"Ciyeee... yang chat-chatan sama Pak Galih," godanya.
"Iya dong!!! Biar greget." Kami tertawa. "Moodnya gimana?"
"Elah, kayak moodnya dia pernah kebaca saja." Bimo melirik bundelan kertas yang kubawa. "Yakin lo nggak akan kena revisi lagi?"
"Jangaaaan!!!" Kutatap Bimo dengan sebal, "Kalau sampai gue revisi lagi, lo nggak boleh sempro duluan. Pokoknya, lo harus sempro bareng gue."
"Buset, kapan tahun tuh?" Bimo pura-pura menghitung.
Kutonyor kepalanya tanpa perasaan. "Lo mau mati?" Bimo cengengesan. "Kalau sampai revisi lagi, gue lempar juga tuh Pak Galih pakai kertas satu kardus."
"Lebay lo, lebay."
"Pak Galih di dalam?" Dito tiba-tiba datang dengan pakaian rapi.
"Mau apa lo? Antri. Gue duluan." Aku bersiap masuk.
"Yah, Ren, bareng dong! Gue cuma mau ngingetin jam sempro nanti siang," pinta Dito dengan manis.
"Enak saja. Lo nggak tahu seberapa gaibnya Pak Galih, meleset dikit, nungguinnya harus sampai berhari-hari," kataku nggak mau mengalah.
"Ren!" Dito masih memohon, tapi kuabaikan. Sikut-sikutan nih kalau masalah jam bimbingan. Hidup matiku bergantung pada timing. Telat dikit, mampus banget. Ngejar Pak Galih ibaratnya ngejar-ngejar Luke Evans yang jelas-jelas gay. Mustahil. Jadi, setiap ada kesempatan sekecil apa pun, aku nggak mau kalah. Pokoknya harus wisuda tahun depan, titik.
Aku langsung berjalan menuju meja Pak Galih yang terletak di ujung sebelah kanan dari pintu masuk. Ruangan dosen ini luas, dan dibagi menjadi beberapa ruangan kecil bersekat kaca untuk kantor masing-masing dosen.
Pak Galih sedang mempelajari sebuah berkas ketika aku menegurnya. "Siang, Pak!"
Dia mendongak, melepas kaca mata bacanya dan menatapku dengan sedikit alis terangkat. Ya ampun, pantas saja banyak mahasiswi yang jerat-jerit sampai bucin berkepanjangan sama ini orang. Wong ternyata ganteng juga. Leh uga sih, asal nggak nyinyir bin julid saja.
"Mau revisian?" Aku mengangguk sembari duduk di depannya.
"Acc ya, Pak," candaku saat menyerahkan revisianku padanya.
"Dilihat dulu." Pak Galih membaca tulisanku dengan seksama. Sejauh ini, dia sama sekali belum menyentuh pulpen yang tergantung di saku kemeja berwarna biru yang dia pakai.
Aman nih.
"Pada tujuan penelitian, seharusnya mendapatkan hasil deskripsi atau mendeskripsikan?" Pak Galih tiba-tiba bertanya.
Hah? Tunggu sebentar, "Mendapatkan hasil deskripsi, Pak," jawabku yakin.
Dia memandangku sejenak, kemudian menyerahkan kertas skripsiku. "Oke, kamu bisa lanjut bab dua."
Ya Allah, rasanya seperti disiram air zam-zam satu ember. Seger banget.
"Makasih, Pak." Aku menyengir lebar.
"Satu minggu cukup?"
Wah, pertanyaan menjebak nih. Cukup nggak cukup harus, "Cukup, Pak."
Pak Galih mengangguk. "Oke."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pesona Rasa (OPEN PO)
ChickLitProses Penerbitan Aku undang kalian untuk melihat kehidupan Renata Dwita (22) yang berkutat antara skripsi, Caca (sang keponakan), Mas Dharma (duda ganteng sekaligus sang kakak ipar), dan Pak Galih (dosen pembimbing skripsi yang rewelnya nggak karu...