6.1 Kalau Bukan Aku, Lalu Siapa Lagi?

33.2K 4.6K 267
                                    


Papa, Mama, dan Caca datang satu jam kemudian. Papa menenteng sebuah tas besar yang kuyakin berisi pakaian, sedangkan Caca menenteng bantal pink kesayangannya.

"Kamu ngapain deh, Ca, bawa bantal segala?" tanyaku keheranan.

"Kan aku nggak boleh nginep rumah sakit kata Oma, jadi aku bawain Tata bantalku, biar nggak kangen," katanya sambil berbaring di sampingku. Kurengkuh tubuhnya, dan kupeluk dia.

"Pede banget kamu," godaku.

"Lha, memang." Dia membalas pelukanku, kemudian menampilkan wajah cemberut.

"Katanya mau cepat sembuh." Caca protes. Aku meringis. Nggak tahu harus menjawab apa.

"Marahin aja, Ca! Ngeyel itu tantemu kalau dikasih tahu," ujar Mama sambil membenarkan letak selimutku. Aku diam saja. Wajah mama jelas terlihat kesal sekaligus khawatir.

"Gimana keadaannya?" tanya papa setelah mengecup keningku.

"Masih lemes banget." Aku menunjuk infusku yang tinggal setengah. "Padahal baru sekitar sejaman dipasangnya."

"Istirahat dulu," kata papa sambil mengusap kepalaku.

Aku mengangguk, kemudian beralih pada Caca. "Maaf ya, Ca, ulang tahunnya harus diundur dulu. Tata belum selesai siapin semuanya."

Caca mengecup pipiku, kemudian berkata, "Ulang tahunnya nggak dirayain nggak apa-apa, asal Tata cepat pulang ke rumah."

Hatiku melting....

"Kok aku sayang banget sama kamu ya, Ca?" Caca tertawa-tawa sambil mengecupi wajahku.

"Kamu udah makan belum?"

"Mama, bawa apa?"

"Nasi sama tumis tahu. Lauknya perkedel daging campur wortel." Mama mengelurkan tempat makan tiga susun dari dalam tas.

"Boleh deh. Belum dapat jatah makan siang nih." Caca melepaskan pelukannya, kemudian membantuku duduk.

"Mau Caca suapin, Tata?" tawar anak itu dengan manis.

"Iya, Caca."

Mama menyeret meja makan khusus pasien dan mulai menyusun menu makanannya di atas meja. Aroma sayur tahu yang diamasak dengan saus teriyaki, dan perkedel daging wortel langsung menyergap indra penciumanku.

"Penyelamat emang. Aku sudah curiga kalau mulai hari ini rumah sakit bakal kasih bubur doang." Caca mulai menyuapiku.

"Nanti minta Dharma buat ganti buburnya pakai nasi tim. Lagian, kamu ada-ada saja. tinggal di Indonesia sejak orok bisa-bisanya nggak doyak bubur," omel mama yang sekarang sedang mengambil tempat di sebelah papa untuk duduk di sofa.

"Bubur nggak enak." Bayangin bentukannya saja sudah membuatku malas makan.

"Dharma mana?" Papa tiba-tiba menanyakan menantu kesayangannya.

"Visit pasien. Katanya, bentar lagi balik, sekalian bawa dokter yang periksa aku."

"Tadi ke sininya sama siapa?" Papa tanya lagi.

Aku menelan makananku sebelum menjawab, "Pak Galih, dosen pembimbingku."

"Besok, biar Caca protes Om Galih lewat Mario. Supaya Tata nggak dibuat sakit lagi," kata Caca sungguh-sungguh.

"Sekalian nitip, supaya skripsinya Tata cepat diacc," komporku.

"Nggak usah ngajarin cucuku macam-macam," tegur mama. Aku dan Caca cuma tertawa-tawa.

Pesona Rasa (OPEN PO)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang