11.1 Dikira Nikah Itu Gampang

35K 4K 226
                                    


Dua hari di Jogja, kayaknya berat badanku naik dua kilo. Ampun deh ampun!!! Makanannya manis semuaaaa.. Tapi, enak. Gimana dong??? Nggak mau berhenti ngunyah. Tapi, timbangan sudah teriak-teriak macam penjual bakso keliling. Bimbang akutuuu.

"Tata, kleponnya enak banget." Caca memasukkan sebiji klepon ke dalam mulutnya. Klepon ini adalah makanan khas yang terbuat dari beras ketan. Bentuknya bulat, biasanya berwarna hijau dengan isian gula jawa dan taburan kelapa parut di atasnya.

Cara memakannya pun nggak boleh sembarangan. Harus sekali makan dan digigit di dalam mulut. Biar sensasi lelehan gula jawanya lebih terasa. Pokoknya sadis bats. Nagih.

"Aku udah habis tiga bungkus." Yang satu bungkusnya berisi lima biji klepon.

"Lagi lagi." Caca menyuapiku, yang dengan keberatan nggak kutolak sama sekali. Kami berjalan keluar dari pasar Bringharjo setelah mendapatkan berlusin-lusin batik dan beberapa jajanan pasar lain.

"Tata, mau bakso," minta Caca setelah kami berhasil keluar dari pasar.

"Di mana?" Aku nggak terlalu tahu jogja. Jalan-jalan kali ini disposori oleh google maps. Ini semua gara-gara Mas Dharma yang mendadak harus jadi dosen tamu di UGM. Cuti yang dia bilang akhirnya hanya sebatasa hoaks saja.

"Nggak tahu." Caca nyengir. Aku kebingungan. Belanjaanku jelas banyak banget. Kami ke sini tadi juga cuma bermodalkan grab. Aku membuka ponsel dan sibuk mencari warung bakso di dekat sini yang direkomendasikan google. "Om Galih! Om Galih!" Caca tiba-tiba berseru sambil melambai-lambai memanggil nama Pak Galih. Aku mengernyit, mengikuti arah pandang Caca dan menemukan Pak Galih yang sedang berjalan mendekat ke arah kami.

Kebetulan macam apa deh ini? kok tiba-tiba saja Pak Galih mengorbit disekitar kami? Duh!

"Ca!" sapa Pak Galih setelah berhenti di depan kami.

"Om Galih juga di Jogja?"

"Iya."

"Ngapain?"

"Mau kondangan ke tempatnya Om Dera."

"Oh." Caca mengangguk-anggukkan kepalanya sok paham.

"Kalian mau ke mana?" Pak Galih melirikku.

"Cari bakso. Laper," sahut Caca sambil mengelus-elus perutnya dengan lucu.

"Sudah dapat?"

"Belum." Giliranku menjawab.

"Om antar mau? Om Galih punya rekomendasi tempat bakso enak," tawar Pak Galih.

Caca langsung semangat. "Mau mau!"

"Nggak ngerepotin, Pak?" tanyaku basa-basi.

"Nggaklah. Saya cuma sedang jalan-jalan." Pak Galih tiba-tiba mengambil alih belanjaanku. "Mobil saya diparkir di seberang jalan. Jalan sedikit nggak apa-apa, ya?"

"Nggak apa-apa, Pak. Makasih lho ini." Aku menggandeng Caca dan berjalan mengikuti Pak Galih. "Bapak pulang kapan?" tanyaku sambil lalu.

"Kemarin. Tapi, baru sampai Jogja semalam." Pak Galih menggandeng tangan Caca yang bebas sambil menyeberang jalan. Kami berhenti di depan mobil SUV berwarna hitam. Dia memasukkan belanjaanku ke dalam bagasi sebelum membukakan pintu penumpang belakang untuk Caca dan depan untukku.

"Om Galih, Om Galih!" Caca menyembulkan kepalanya diantara kursiku dan Pak Galih.

"Ca, bahaya," tegurku nggak suka.

"Bentaran." Caca kembali fokus pada Pak Galih yang sedang mengemudi.

"Apa, Ca?" tanya Pak Galih dengan sabar.

Pesona Rasa (OPEN PO)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang