Semproku hampir sembilan puluh sembilan persen berjalan tanpa hambatan. Pak Galih membuat semuanya mudah. Aku sempat curiga, jangan-jangan dia pakai perasaan. Nggak ada satupun pertanyaan yang menyudutkanku. Dia tampak kooperatif. Namun, malah membuatku was-was.
"Revisisannya segera dikasih ke Pak Michael, lalu ke saya." Pak Galih mengutak-atik ponselnya. "Sudah saya kirim lewat email."
"Baik, Pak. Terimakasih." Aku senyum-senyum sumringah saja. Sebenarnya perasaan Pak Galih kasih keuntungan buat skripsiku, tapi juga simalakama. Kalau ada yang tahu, aku bisa mati berdiri. Gosipkan nyebarnya kayak wabah. Duh!
Aku membereskan laptop setelah mengurus tanda tangan dan berkas-berkas lain. Pak Michael dan Pak Gondo-yang kebetulan bertugas sebagai penguji proposal skripsiku-telah pergi meninggalkan ruangan. Tersisa aku, Dito, Bimo, dan Pak Galih. Dito buru-buru menghampiri Pak Galih dan mengambil atensi pria itu untuk berdiskusi mengenai skripsinya.
"Pak Galih kalem amat," komentar Bimo.
"Gue takutnya dia menyimpan strategi balas dendam. Jangan sampai gue dihabisisn disidang." Meskipun kelihatannya hampir mustahil. Aku menyampirkan ransel di pundak, kemudian berjalan keluar bersama Bimo. Pak Galih dan Dito masih berdiskusi di depan pintu.
"Mau ke mana?" tanya Pak Galih.
"Kantin, Pak. Makan siang," jawab Bimo. Aku mengangguk membenarkan.
"Sekalian."
Eh! Gimana nih maksudnya?
"Traktir, Pak?" Bimo cengengesan.
"Boleh."
Aku, Bimo, dan Dito langsung saling lirik. Ini orang kesambet setan apaan? Baik bener.
"Makasih lho, Pak. Penyelamat duit makan siang saya banget," tambah Bimo. Pak Galih cuma senyum seiprit.
"Yuk!" ajaknya. Kami baru mau melangkah saat sebuah suara yang begitu kukenal tiba-tiba mengalihkan perhatian kami.
"TATA!!!" Caca berlari kearahku sambil menggenggam sebuah buket bunga mawar berwarna putih. Aku merentangkan lengan lebar-lebar untuk menerima Caca yang meloncat kepelukanku. Kami berputar-putar sebentar dengan tawa, sebelum akhirnya kuturunkan dia dan kukecup seluruh wajahnya. Caca tertawa-tawa dan aku nggak bisa menghentikan diriku untuk mengecup keningnya. Lama. Sayang.
"Selamat, Tata!" Caca menyerahkan buket itu dengan ceria.
"Makasih, Sayangku. Pelita hidupku." Kupeluk dia erat-erat. Tuhan tahu, kalau bisa aku ingin mengantongi Caca untuk diriku sendiri. Nggak akan kubiarkan dia keluar dan melihat dunia yang luar biasa abu-abu ini. nggak rela rasanya melihat Caca yang seputih ini harus dinodai realita dunia. Aku nggak akan munafik. Ketakutan itu menghantui setiap saat, terlebih disaat-saat seperti ini. takut Caca jatuh, kemudian menangis. Takut Caca tersakiti, dan kemudian terluka. Takut Caca... Tapi, Tuhan juga tahu, kalau aku ingin Caca menjadi anak yang mandiri. Jadi, aku nggak mungkin mengurung Caca dalam ketakutanku.
Caca mengurai pelukan kami, dia menangkup wajahku menggunakan kedua telapak tangannya, kemudian mendorong sedikit wajahku agar dapat dia jangkau. Dikecupnya keningku. Dan aku tahu, bahwa pada detik ini aku bisa melakukan apa pun untuk mendapatkan semua atensi Caca.
"Semangat ya, Tata. Biar cepat lulus, supaya kita bisa pergi jalan-jalan." Aku tertawa mendengar doa Caca. Sambil mengacak-acak rambutnya, kutemukan Mas Dharma yang sudah berdiri di belakang Caca dengan kedua tangan yang tersimpan dalam saku celana.
"Traktir dong!" kataku semangat.
"Boleh." Tatapannya yang teduh itu memusat dikedua bola mataku. Aku nyengir, lantas hendak memanggil kedua temanku agar ikut bersama kami. Namun, aku melupakan Pak Galih. Suasana tiba-tiba saja berubah menjadi canggung. Dito dan Bimo yang nggak mengerti apa-apa sudah asyik menggoda Caca.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pesona Rasa (OPEN PO)
ChickLitProses Penerbitan Aku undang kalian untuk melihat kehidupan Renata Dwita (22) yang berkutat antara skripsi, Caca (sang keponakan), Mas Dharma (duda ganteng sekaligus sang kakak ipar), dan Pak Galih (dosen pembimbing skripsi yang rewelnya nggak karu...