Aku seringkali merasa heran, bagaimana bisa Mas Dharma meluangkan waktunya barang satu atau dua jam untuk melakukan hal-hal remeh, seperti menyusulku dan Caca yang sedang jalan-jalan. Atau menungguiku yang sakit waktu itu. Mas Dharma bisa bekerja di tiga tempat sekaligus dalam satu hari. Dia berpraktek di dua rumah sakit besar, satu milik pemerintah dan satu lagi swasta. Selain itu, dia juga masih harus berpraktek di klinik dan menjadi pengajar tetap di kampusku. Mas Dharma juga harus melayani dan membimbing mahasiswanya.Jadi, nggak mengherankan kalau aku selalu bertanya-tanya, terutama disaat-saat seperti ini.
Mas Dharma menghentikan mobilnya saat lampu jalan berwarna merah. Caca duduk terlelap di jok belakang setelah menghabiskan satu kotak kecil susu coklat. Suara Michael Buble menyanyikan lagu Love You Anymore memenuhi mobil. Aku melirik Mas Dharma yang sedang mengetuk-ngetukkan jemarinya pada setir mobil.
"Mas!" panggilku.
"Hmm..." Dia menoleh untuk menatapku.
"Kamu kok bisa susulin aku sama Caca?"
"Hah?" Dia kembali fokus pada kemudi saat lampu berubah menjadi hijau. "Kosong sebentar." Dia membelokkan kemudi kearah kiri. "Habis ini balik rumah sakit lagi."
"Nggak capek?" Aku menatapnya lamat-lamat. Ada jambang tipis di sekitar dagunya. Omong-omong, aku jadi punya ide hadiah apa yang harus kuberikan padanya saat ulang tahun Mas Dharma nanti.
"Nggaklah!" Dia menatapku sekilas, lantas kembali fokus pada kemudinya. "Kenapa emang?"
Aku mengedikkan bahu. "Heran aja. Perasaan, biasanya selalu sibuk."
"Kebetulan."
Ah, mungkin.
"Minggu depan kita ke Jogja, ya!"
Aku menatapnya keheranan. "Memang bisa?"
"Bisalah. Kan aku punya jatah cuti tahun baru."
"Yakin nih?" tanyaku sangsi. Berkaca dari tahun-tahun sebelumnya, ada saja telepon darurat yang menyela libur tahun baru keluarga kami. Dan Mas Dharma mau nggak mau akan mempersingkat liburannya untuk pulang lebih awal.
"Yakin," jawabnya mantap. "Ada dokter baru yang bisa gantiin. Lagipula, belum ada operasi yang harus dilakukan cepat-cepat. Dua tahun ini kan, aku juga nggak ngambil cuti apa pun, selain waktu Norma meninggal."
Aku membenarkan. "Bagus deh. Caca juga sudah nagih liburan."
"Skripsimu gimana?"
"Mau kusetorkan lusa." Astaga, rasanya males banget ketemu Pak Galih. Absurd begitu. Ck, kenapa nggak Kau permudah saja sih Tuhan jalanku buat skripsian? Kenapa musti ada saja halangannya? Mana ini Pak Galih pakai acara nggak jelas segala. Dia pikir lucu apa?
"Target selesainya kapan?"
"Februari, wisuda April."
"Setelah kamu wisuda, pergi liburan yuk!" ajak Mas Dharma tiba-tiba. Aku langsung sumringah.
"Mau dong!!!" ucapku antusias.
"Kamu wisudanya awal, tengah, atau akhir April?"
"Akhir."
Mas Dharma tampak berpikir, "Di Eropa bulan-bulan segitu masih musim semi." Ya Allah, mau lompat-lompat rasanya. Sinyal-sinyalnya positif nih. Mau ke negara manapun, kalau sudah nyebut-nyebut musim semi, aku nggak akan nolak. "Mau ke mana?" Mas Dharma menawariku.
Tanpa berpikir panjang, aku langsung menjawab, "Irlandia." Membayangkan kanal-kanal hijaunya, kastil-kastil yang indah, tebing-tebing tepi laut, serta museum-museum antik. Irlandia. Jelas, aku ingin ke sana. Banget.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pesona Rasa (OPEN PO)
ChickLitProses Penerbitan Aku undang kalian untuk melihat kehidupan Renata Dwita (22) yang berkutat antara skripsi, Caca (sang keponakan), Mas Dharma (duda ganteng sekaligus sang kakak ipar), dan Pak Galih (dosen pembimbing skripsi yang rewelnya nggak karu...