"Ngisi kuliahnya sudah selesai 'kan?" Aku melipat pakaian kering yang semalam kucuci sambil duduk selonjoran di lantai, sedangkan Mas Dharma berbaring sambil memeluk Caca yang telah tertidur.
"Sudah. Jangan kesal lagi!" Mas Dharma melepaskan pelukannya dari tubuh Caca, kemudian menyelimuti anaknya sebelum beranjak untuk duduk di sampingku. Dia membantuku melipat pakaian sambil mendengarkanku yang masih sibuk mengomel.
"Ya beneran. Jangan omong doang. Sakit nih di php-in terus." Aku menyelesaikan lipatan terakhirku, begitu juga Mas Dharma, kemudian dia memasukkan baju yang sudah terlipat tadi ke dalam keranjang dan menyimpannya untuk disetrika besok.
"Janji. Lagian lusa Dera nikah. Besok kita pasti bakal sibuk banget."Kami duduk saling berhadap-hadapan.
"Kamu tuh, kerjaannya di Jakarta sudah banyak. Kalau liburan gini mbok ya yang tahu diri. Jangan sok-sokan idealis sampai lupa keluarga. Aku tahu kamu cinta kerjaanmu, tapi Caca lebih cinta kamu." Mas Dharma meringis. "Caca sudah banyak memaklumi kamu saat di Jakarta. Lagian kamu juga capek, Mas. Istirahat! Kalau mau nurutin ego nggak akan kelar-kelar keinginan kita."
"Profesorku yang minta. Nggak enak mau nolaknya, Ren." Aku menghela nafas. Mencoba maklum.
"Yaudah deh. Yang penting, lima hari ke depan kamu gunain buat Caca. Nggak usah mikir yang lain lagilah!"
"Makasih ya sudah jagain Caca." Mas Dharma menepuk punggung tanganku sambil tersenyum.
"Anak aku tuh. Kamu numpang nama doang di aktenya," gurauku.
"Iya. Makanya, makasih. Kalau nggak ada kamu, aku nggak tahu mesti gimana."
Aku jadi merasa kasihan pada Mas Dharma. Jadi single parent itu nggak mudah. Mau janda atau duda. Yang biasanya ngasuh anak berdua, sekarang harus mandiri.
"Untung anakmu kayak Caca, Mas. Manis banget dia. Suka minta digigit saking gemesnya."
"Nggak tahu lagi kalau bukan kamu tantenya Caca."
"Yeeee..."
Mas Dharma mengacak rambutku sambil tersenyum. "Baju yang buat nikahan Dera sudah dicoba?"
Aku mengguk. "Tapi Mas, kebaya yang buat resepsi mepet banget. Sesak. Kayaknya aku gendutan atau gimana nih?" Padahal ukuran yang dibuat harusnya sama, soalnya aku hanya mengirimkan satu sempel baju untuk diukur.
"Masa? Coba lihat." Aku beranjak untuk mengambil baju itu yang kugantung di dinding.
"Yang buat akad, pas nih." Aku memberikan kebaya yang kumaksud pada Mas Dharma. Dia mengamati sebentar, membuka bungkus plastikanya kemudian mencocokkannya dengan tubuhku.
"Iya." Mas Dharma setuju.
Kemudian aku menunjukkan kebaya merah untuk resepsi. "Tapi, yang ini mepet banget." Apalagi untuk bagian dada. Aku cukup menghindari menggunakan pakaian yang terlalu melekat di tubuh, karena bagian dadaku yang besar. Rasanya nggak nyaman kalau dadamu jadi pusat perhatian. Lagipula, sesak juga.
"Dicoba dululah!" Mas Dharma menyarankan. Aku masuk ke dalam kamar mandi untuk mengganti pakaian. Kebaya ini dibuat dengan model tunik. Potongan dadanya sih sopan, tapi cutingannya yang nggak pas. Aku sengaja nggak membuka seluruh resleting, karena letaknya di belakang. Jadi, aku lebih mudah untuk menaikkan resletingnya tanpa bantuan orang lain.
Saat baju itu sudah masuk sepenuhnya, aku merasa sesak pada bagian dada. Duh! Baju ini baru kemarin malam diantarkan dan aku nggak yakin besok bisa dipermak. Aku berusaha menaikkan resletinya yang ternyata sedikit susah. Butuh perjuangan ekstra sebelum baju itu akhirnya benar-benar terpasang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pesona Rasa (OPEN PO)
ChickLitProses Penerbitan Aku undang kalian untuk melihat kehidupan Renata Dwita (22) yang berkutat antara skripsi, Caca (sang keponakan), Mas Dharma (duda ganteng sekaligus sang kakak ipar), dan Pak Galih (dosen pembimbing skripsi yang rewelnya nggak karu...