5. Nasib Mahasiswa Tingkat Akhir

34.2K 4.5K 318
                                    

Pejuang Skripshit

Bimo : Bangke nih Pak Gondho, gue tungguin dua jam taunya malah pergi rapat.

Renata : Apa kabar gue? Janjian hari Senin diundur sampai Kamis!!!

Dito : Gue belum dapat tanda tangan sempro kemarin!!!

Bimo : Gue mau demo.

Renata : Kayak nyali lo setinggi Monas.

Bimo : Gue nggak terima!!! Sempro gue mau kapan tahun?

Dito : Sabar! Orang sabar disayang Tuhan.

Bimo : Sekarang yang penting disayang Pak Godho.

Renata : Gue ngga mau disayang Pak Galih, tapi butuh siraman rohaninya. Mau nangis.

Bimo : Sekarang hari Kamis, btw.

Renata : Gue sudah di depan ruang dosen hampir dua jam.

Dito : Pak Galih udah ada?

Renata : Boro-boro! Wa gue nggak dibalas. Gue dicuekin cobaaaa!!!

Dito : Kalau Pak Galih datang, wa gue. Penting!

Renata : Ogah. Enak di lo, susah di gue. Katanya berjuang, sama-sama dong!

Dito : Lo jadi teman, faedah dikit kek!

Renata : Bodo!

Aku melirik ke dalam ruang dosen. Pak Galih ini, dosen gaib beneran. Janjian Senin diganti Kamis. Sudah dikonfirmasi jam sembilan, diganti saja seenak hati. Mana nggak jelas lagi. Dia pikir waktuku cuma nungguin dia doang? Astaga... emosi.

Aku mengecek arloji, sekarang hampir jam sebelas siang. Duh! Mana badan rasanya masih nggak enak, keringat banjir, kepala cenat-cenut. Apa pun kulakukan. Demi skripsi!!!

Setengah jam lagi, mungkin aku bakal semaput. Huh! Begini amat nasib mahasiswa tingkat akhir. Hidup mati tergantung pada skripsi, tapi nasibnya malah digantungin begini. Seharusnya, aku bikin inisiasi untuk membentuk lembaga perlindungan mahasiswa skripsi, terkhusus permasalahan jadwal bimbingan skripsi yang sudah mirip janji-janji kampanye calon presiden. Php. Hoax. Nggak bisa dipercaya.

Sepuluh menit berlalu, akhirnya kuputuskan untuk menghubungi Pak Galih.

Renata : Pak, di mana?

Pak Galih : Lima meter lagi.

Renata : Maaf, Pak?

"Satu meter di belakang kamu."

Astaga!!! Fix, Pak Galih benar-benar dosen gaib beneran. Tiba-tiba saja dia sudah berdiri di belakangku dengan wajah biasa saja. Nggak merasa bersalah sama sekali. Nih lho, Pak, kukasih tahu, kalau aku sudah menunggu hampir dua jam. Persis kayak orang hilang.

"Jam sembilan lebih ya, Pak," sindirku sambil cengengesan.

"Tadi dicegat Pak Dekan, diajak diskusi sebentar." Sebentar yang hampir dua jam maksudnya? "Sudah jadi bab duanya?" Pak Galih masuk ke dalam ruangan, aku mengekori.

"Sudah, Pak." Kami duduk berhadapan, sepeti biasa. Pak Galih memeriksa tulisanku, sedangkan kepalaku malah rasanya cenat-cenut nggak karuan. Sejak tiga hari yang lalu, Mas Dharma sudah memaksaku untuk opname di rumah sakit, tapi kuabaikan. Aku merasa sudah baik-baik saja. Namun, hari ini tidak. Kuyakin, badanku sudah banjir keringat, dan kepala ini, rasanya seperti dipukul-pukul pakai palunya Thor. Asem! Sakit amat.

"Kamu mengutipnya difrasakan tidak?"

"Iya, Pak."

"Masa? Coba cek palgiasi dulu tulisanmu, pasti banyak yang kena tanda merah."

Pesona Rasa (OPEN PO)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang