12.2 Pretend

33.3K 3.9K 551
                                    

Pernikahan Mas Dera berlangsung dalam satu hari, setelah akad yang dilaksanakan di rumah Mbak Kinanti selesai, acara langsung dilanjutkan resepsi disebuah hotel. Aku buru-buru berganti pakaian dan memperbaiki riasan. Bibirku yang semula dipulas lipstik berwarna nude, kuganti dengan lipstik berwarna merah.

Bajuku bisa sedikit terselamatkan setelah kemarin dipermak. Walaupun nggak sesuai harapan, tapi mayanlah. Ukuran dadaku bisa sedikit tersamarkan. Aku sedang mematut tubuhku di depan cermin saat mama dan Caca menghampiri.

"Tata cantik!!!" Caca menubruk tubuhku sambil tertawa riang.

"Caca juga cantik!!!" Aku menunduk untuk mengecup hidung Caca.

"Ukurannya bagus yang kemarin deh, Ren," komentar mama.

"Nggah ah. Yang kemarin ekstrim banget. Dadaku rasanya sesak." Aku mengajak Caca untuk menghampiri mama yang masih berdiri di ambang pintu.

"Tata, mau pakai lipstik yang kayak gitu juga." Caca menunjuk-nunjuk bibirku.

"Jangan deh, Ca." Aku mengeluarkan lipbalm berwarna pink dari dalam clutch. "Ini saja ya."

"Boleh boleh." Aku memakaikan lipbalm itu ke bibir Caca dan mendesah puas.

"Cantik begini anaknya siapa sih?" godaku sabil menggoyang-goyangkan tubuhnya.

Caca tertawa. "Anaknya Tata," jawabnya dengan lantang.

"Bagus." Aku mengacungkan jempol padanya.

"Kalian ini." Mama berdecak dengan senyum menari-nari di bibirnya. Kami keluar menuju ballroom, menghampiri keluarga pihak mempelai laki-laki.

"Ren, kapan mau nyusul nih?" Bulek Ita—adik perempuan ibunya Mas Dharma—menggodaku setelah bercipika-cipiki.

"Wah, kapan ya? Hilal jodohku saja belum tampak, Bulek. Suram." selorohku. Bulek Ita tertawa ngakak.

"Yang pentig skripsi dulu, Ren." Om Johan—suami Bulek Ita—menyambung.

"Nah itu." Kami semua tertawa.

"Papi mana?" Caca menggoyang-goyangkan genggaman tangan kami. Aku mengedarkan pandangan untuk mencari Mas Dharma.

"Nyariin siapa?" Pak Galih tahu-tahu sudah berdiri di belakangku. Bikin deg-degan masa.

"Mas Dharma."

"Tadi masih di depan." Pak Galih beralih berdiri di sampingku. "Ca, cantik amat." Dia menegur Caca.

"Cantik kayak Tata 'kan?" Caca nyengir.

Pak Galih mengangguk. "Iya, kayak Tata." Aku pura-pura nggak dengar. Takut tersipu-sipu.

"Nggak ke Mas Dera, Pak?"

Pak Galih melihat arlojinya. "Masih ada waktu." Dia menatapku, "Kamu nggak ikut jadi bridesmaidnya Kinanti?"

Aku menggeleng. "Saya ikut nerima tamu sama Mas Dharma." Orang-orang sudah mulai berdatangan. Ballroom mulai padat. Aku masih celingak-celinguk cari Mas Dharma dan kutemukan dia berada di lima meter jauhnya dari kami.

"Ren!"

"Iya, Pak." Aku berpaling pada Pak Galih.

"Nanti sore keluar sama saya yuk!"

"Eh?" Aku kebingungan. "Gimana, Pak?"

"Nanti sore keluar sama saya," ulangnya. Aku belum sempat menjawab saat Pak Galih lebih dulu pergi. Itu tadi apaan sih? Ngajak jalan, ya? Wah!!! Aku harus gimana? Ini Pak Galih lho. Dosen pembimbingku. Aku seperti kehilangan orientasi kalau Caca nggak menggoyangkan lenganku saat melihat ayahnya mendekat.

Pesona Rasa (OPEN PO)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang