12.3 Pretend

37.1K 4K 841
                                    

Aku garuk-garuk kepala. Canggung. Yang keluar dari bibirku malah, "Turun yuk, Pak! Nanti keburu sore." Pak Galih terlihat mau menjelaskan, tapi aku buru-buru melepas sabuk pengaman dan keluar dari mobil. Berpura-pura barusan nggak terjadi apa-apa diantara kami adalah hal yang kurasa lebih aman.

"Ren!" Dia menyusulku, mensejajarkan langkah.

"Mau cari buku apa, Pak?" Aku mengedarkan pandangan ke manapun, asal bisa menghindari Pak Galih.

"Fiksi." Dia mengajakku menuju lantai dua.

Aku segera mencari cara untuk melepaskan diri dari Pak Galih dengan berjalan menuju rak yang memajang komik. Pak Galih tampaknya nggak mau teralihkan begitu saja, dia mengikutiku, berdiri di sampingku dan ikut melihat-lihat komik yang dipajang di rak tersebut.

Aku panik bukan main. Kalau-kalau dia membahas masalah di mobil tadi, aku jelas nggak akan punya jawaban. Memikirkannya saja berat.

Aku sengaja membaca beberapa komik yang sudah dibuka. Mengulur waktu sampai Pak Galih bosan. Kudengar dia menghela nafas berat. Dan aku sudah setengah yakin, kalau Pak Galih akan menyerah. Namun, nyatanya aku salah. Dia justru mengambil komik yang sedang kubaca untuk mendapatkan perhatianku.

"Saya serius," katanya tanpa tedeng aling-aling.

Mendadak tenggorokanku rasanya seret. Aku meneguk ludah dengan susah payah. Celingak-celinguk untuk mendapati bahwa suasana toko ini cukup ramai.

"Pak!" Aku mencoba untuk memberitahunya kalau nggak ingin membahas lebih lanjut. "Gimana kalau Bapak cari bukunya dulu?"

"Kamu berusaha mengalihkan perhatian saya?"

Aduh!

"Apa ya, Pak?"

"Ren, saya serius."

Waduh. "Pak, kalau nggak dibahas sekarang, bisa?"

"Kenapa?"

Aku menggaruk kepala dan menatapnya nggak enak. "Saya belum bisa mikir."

"Kamu mau diberi waktu?"

Aku mengernyit. Memangnya ini soal ujian yang harus dikerjakan? "Pak, saya benar-benar nggak ngerti lho ini."

"Ya, kamu memang selalu nggak ngerti." Nada suaranya terdengar gemas.

"Saya nggak bloon-bloon amat kali," protesku.

"Oke." Pak Galih melipat kedua lengan sambil bersandar pada kusen rak. "Saya suka kamu," katanya blak-blakan.

Mendadak udara disekitarku terasa menyusut. Otakku buntu beneran. Mencerna kata-kata 'Saya suka kamu' seperti menyuruhku untuk mencerna batu segede patung Pancoran. Aku mengigit bibir bawahku gugup.

"Saya mahasiswi Bapak lho."

"Saya tahu."

"Nggak fair kalau bilang suka ke saya saat saya masih jadi mahasiswi, Bapak, terutama mahasiswi bimbingan skripsi, Bapak."

Pak Galih terdiam. Nggak bisa mendebat argumenku. Posisi kamu saat ini sangat rawan untuk menjalin hubungan percintaan, lebih-lebih aku adalah mahasiswi bimbingan skripsinya. Akan terlihat sangat tidak etis dan tidak fair untuk mahasiswa lain.

"Saya niatnya mau nunggu kamu selesai wisuda." Tapi, kata-katanya terdengar nggak meyakinkan.

Aku menghela nafas dengan berat. Ini sangat tidak terduga. Aku nggak tahu harus jawab apa. Maslaahnya adalah aku nggak pernah punya perasaan apa pun ke Pak Galih. Getaran-getaran kecil pun nggak ada.

"Jangan ya, Pak! Saya benar-benar nggak enak ini."

"Kenapa kamu nggak coba kasih saya kesempatan?"

Pesona Rasa (OPEN PO)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang