8. Kita Ngebut Ya?

33.9K 4.4K 417
                                    


Setelah sepuluh hari dirawat di rumah sakit, dokter akhirnya mengizinkanku pulang. Ditambah tiga hari istirahat di rumah, badaku akhirnya kembali segar. Hal yang pertama kulakukan setelah pulih total adalah nonto film sama Caca, tapi minus Mas Dharma. Seperti biasa, pekerjaannya sulit diganggu gugat.

"Mau nonton apa?" Aku mengikuti Caca yang melihat-lihat poster film sambil menggandeng tanganku.

"Udah nonton Frozen dong, mau yang lain," katanya.

"Star Wars," usulku.

Caca menggeleng. "Nggak mau, kan nggak nonton dari awal. Nggak tahu ceritanya. Sama Papi aja kalau mau nonton Star Wars," tolaknya.

"Apa dong?" Caca berhenti dan menoleh padaku.

"Nggak mau nonton. Nggak ada yang seru," katanya dengan mimik wajah menggemaskan.

Aku garuk-garuk kepala. Caca ini mirip banget sama bapaknya. Kalau nggak ingin sesuatu, ya dia bakal bilang nggak. Mau orang lain maksa-maksa, jawabannya tetap 'nggak'.

"Mau makan aja?" tawarku.

Caca mengangguk. "Mau ayam goreng sama kentang."

"Boleh deh." Kami keluar dari bioskop dan menuju salah satu gerai makan cepat saji yang menyediakan ayam goreng dan kentang. Saat sampai di gerai yang dimaksud, tempatnya masih sepi, hanya satu dua pengunjung saja. Maklum, belum jam makan siang. Caca langsung semangat untuk menyeretku ke konter pemesanan.

Caca sedang menyebutkan pesanannya kepada petugas, ketika tiba-tiba saja ada pria yang ikut mengantre di sebelah kami. Tapi ya, tapi, yang namanya kebetulan itu kayaknya memang eksis di dunia ini. Kok ya, pria yang ngikuti ngantri bareng kita, eh... ternyata eh ternyata... Pak Galih, Saudara-saudara. Hadeh!!! Ini semacam kutukan beruntun atau bagaimana? Sekalinya keluar rumah, ketemunya Pak Galih lagi, Pak Galih lagi. Nggak cukup di kampus saja nih?

"Eh, Pak Galih," tegurku dengan cengengesan.

Pak Galih menatapku, "Ngapain kamu?" tanyanya datar.

"Makan, Pak," jawabku kalem.

Pak Galih menaikkan alisnya samar. "Keluar rumah sakit kapan?"

"Tiga hari yang lalu." Dia mengangguk, lalu beralih pada Mbak-Mbak yang sedang menyebutkan pesanannya.

"Ditambah perkedel dan air mineralnya satu. Pesanannya jadikan satu saja sama mereka." Pak Galih menunjukku dan Caca. Dia mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribuan untuk membayar pesanan kami. Dibayarin nih? Alhamdhulillah.

"Om Galih, makasih," kata Caca dengan ceria.

Pak Galih tersenyum sambil mengusap rambut Caca. "Om nggak bakal bikin Tata kamu sakit," balasnya.

Caca nyengir. Apa deh? Ini anak beneran protes ke Pak Galih? Aku yang nggak mudeng, cuma plonga-plongo.

"Kemarin Caca ngadu sama saya, katanya saya suka sekali bikin kamu sakit," jelas Pak Galih sambil membawa nampan berisi pesanan kami.

"Perasaan, Tata sakitnya cuma sekali," protesku pada Caca.

"Yang malam-malam lihat laptop terus ngeluh suka pusing itu siapa?" balas Caca.

"Kapan sih, Ca? Kapan?" Aku ngeles. Kami memilih untuk duduk diujung ruangan agar dapat melihat orang berlalu-lalang.

Pak Galih meetakkan ayam goreng, kentang goreng, serta minuman sejenis es coklat pakai krim vanilla untuk Caca. Sedangkan untukku, aku tadi memesan sup ayam, dua potong dada ayam, dan mocca float. Tapi eh, tapi, Pak Galih tiba-tiba saja menukar ayam gorengku dengan perkedel dan mocca folatku dengan air mineral.

Pesona Rasa (OPEN PO)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang