11.2 Dikira Nikah Itu Gampang

33.9K 4.2K 484
                                    

Mas Dharma sedang duduk bersama kedua orang tuaku, serta bapak dan ibu—kedua orang tua Mas Dharma—saat Pak Galih memarkirkan mobilnya di halaman rumah orang tua Mas Dharma.

Aku turun, kemudian membuka pintu belakang untuk menggendong Caca. Mas Dharma buru-buru menghampiriku dan mengambil Caca dari gendonganku. Aku iri melihat betapa mudahnya Mas Dharma menggendong tubuh Caca yang berat, kemudian bersalaman dengan Pak Galih, sebelum ikut menenteng belanjaanku.

"Ketemu Pak Galih di mana?" tanya Mas Dharma saat membaringkan  Caca ke ranjang.

Aku melepas sepatu Caca sebelum menjawab. "Pasar Bringharjo." Pak Galih kutinggalkan bersama para orang tua di depan, lagipula, Mas Dera juga baru saja datang. Jadi, nggak masalah, karena Pak Galih punya teman ngobrol yang setara. Aku melepaskan baju Caca. Anak ini pasti nggak nyaman kalau tidur mengenakan celana jins. "Mas, tolong ambilin baju gantinya Caca."

Mas Dharma beranjak sebentar dari sebelahku, kemudian kembali sambil membawa baju yang lebih santai untuk anaknya. Aku meloloskan kemeja dari tubuh Caca, kemudian mengangkat kepalanya untuk memaikan kaus. "Katanya tadi mau tiup lilin," gumamku setelah berhasil mengganti pakaiannya. "Malah pules gini."

"Kalau bangun, ngambek nggak?" tanya Mas Dharma.

"Nggak juga sih." Aku menaruh pakaian kotor Caca ke keranjang. "Tapi, kasihan kalau mau dibangunin."

Mas Dharma setuju. "Memangnya, tadi ke mana saja?" tanyanya sambil duduk di atas ranjang.

Aku mengurai rambutku yang dikuncir ekor kuda, kemudian memijat-mijat kepalaku pelan. "Makan bakso, lalu beli buku buat Caca. Semua yang bayarin Pak Galih," laporku. Mas Dharma menyuruhku duduk. Kami duduk bersilang kaki sambil berhadapan, kemudian dia menggantikan tugas tanganku utuk memijat kepala. "Mas!" Aku tiba-tiba kepikiran pembicaraanku dengan Pak Galih tadi.

"Apa?"

"Sebenarnya, aku ini mau ngapain setelah kuliah?"

Mas Dharma berganti memijat pelipisku. "Nggak tahu. Kamu kalau ditanya juga suka nggak jelas."

Nah itu. "Aku nggak tahu," kataku lemas. "Kok hidupku nggak jelas amat?" keluhku.

"Coba, kamu pikir-pikir dulu. Kamu sukanya apa, maunya apa, inginnya gimana? Kalau sudah ketemu, kamu mulai petakan deh!"

"Buram." Aku garuk-garuk kepala, lantas Mas Dharma menurunkan tangannya.

"Nggak ada gambaran banget?"

"Maunya jadi pengacara, tapi mana bisa?"

"Kalau mau sekolah S1 lagi ya nggak apa-apa."

"Enak banget ngomongnya." Kucubit lengan Mas Dharma. Dia mengaduh sambil mengusap-usap bekas cubitanku.

"Katanya mau jadi pengacara? Kamu butuh teman debat dan bedah kasus."

Mau nangis. Aku kebingungan. Ya Tuhan, jadi mahasiswa kupu-kupu alias kuliah-pulang, kuliah-pulang ternyata memusingkan banget.

"Mas!" Suaraku hampir putus asa. Tiba-tiba semuanya terasa buram. Ngomongin masa depan memang semenakutkan ini buatku. Aku nggak tahu mau jalan ke mana. Aku nggak tahu mau ngapain. Di satu sisi, aku juga nggak pernah mau mengatakan, kalau aku harus mulai memikirkan masa depanku.

"Bentar bentar!" Mas Dharma menepuk keningku. "Jangan panik! Masih ada waktu buat berpikir. Jangan sampai kamu stres dan tertekan. Anxiety nggak baik untuk kesehatan mental."

Aku menghembuskan nafas dengan berat. "Aku punya waktu sampai wisuda." Tapi, tetap saja lemas. Prospek masa depanku masih mendung.

"Iya." Mas Dharma menepuk pundakku sebelum mengajak keluar untuk menemui Pak Galih.

Pesona Rasa (OPEN PO)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang