Mas Dharma : Posisi?
Renata : Lagi mau jalan ke tempat biasanya Caca beli baju.
Mas Dharma : Oke. Aku susulin ke sana.
"Ca, Papimu mau nyusul," kataku pada Caca yang sedang menggandeng tanganku.
"Berarti boleh beli dua?" tanyanya antusias.
Aku langsung menolak. "Nggak. Satu aja, bajumu di lemari masih banyak."
"Yaaahhh, kenapa?"
"Pertama, baju kamu masih banyak yang bagus dan layak pakai. Kedua, jumlahnya banyaaakkk banget, Ca. Kalau kamu mau beli lebih dari satu, kamu harus keluarin beberapa bajumu dari dalam almari. Sumbangin ke orang lain, baru nanti di acc buat beli baju lagi."
Caca tampak berpikir, kemudian berkata, "Yaudah deh, satu aja."
Aku tersenyum sambil mengacak rambutnya. Terkadang, Caca memang harus diberi pilihan supaya nggak rakus. Dia harus bisa menentukan mana yang menjadi prioritas dan mana yang bukan. Lagian, lemarinya Caca sudah penuh banget. Baju dari segala model lengkap. Ini saja, aku belikan dia baju karena laporan nilai sekolahnya yang bagus-bagus. Kalau nggak mah, nggak mungkinlah dia kuizinkan untuk belanja begini. Ngirit dong!!!
Aku nggak sengaja melirik ke samping kanan dan menemukan Pak Galih yang sedang memandang kami sambil tersenyum. Dih, senyum-senyum sendiri. Gila kali, ya? Eh, tapi bukannya Pak Galih itu emang agak-agak?
"Makasih traktiran makan siangnya, Pak," kataku padanya. Pak Galih mengangguk. "Habis ini Bapak mau ke mana?"
Dia melirik arlojinya. Sibuk nih. "Kamu mau ke mana?" tanyanya balik.
"Belanja."
Dia tampak berpikir sejenak. "Boleh deh, saya ikut, sekalian mau cari jas."
Yaelah. Bubrah deh. Mau nolak sungkan. Sakaratul maut beneran aku. "Ca, nemenin Pak Galih dulu ya!" mintaku padanya.
"Kenapa nggak beli bajuku duluan?" Caca balik nanya.
"Gerai yang jual jas lebih dekat dari sini."
"Oke deh." Caca mengacungkan jempol, lalu melempar senyum teramat manis pada Pak Galih. Mencurigakan. "Om Galih, es krim, ya!" Tuh kan, tuh kan.
"Pamrih amat," tegurku.
"Yeee, boleh ya, Om Galih?" Caca masih merayu. Pak Galih justru tertawa sambil mengiyakan permintaan Caca.
"Aduh, maaf ya, Pak," kataku nggak enak.
"Nggak apa-apalah. Lucu dia," balasnya sambil membelai kepala Caca. "Tapi, es krimnya setelah Om Galih beres beli jas," kata Pak Galih kemudian. Caca setuju. Aku mengarahkan Pak Galih menuju toko pakaian laki-laki sambil mengirim pesan kepada Mas Dharma untuk mengubah halauan.
Kami sampai di toko yang aku maksud. Omong-omong ini adalah toko langganannya Mas Dhama. Menurutnya, potongan jas ditempat ini bagus dan enak buat dipakai. Tapi, potongannya memang bagus, bahannya juga halus. Yah, kalau kata mama, ada harga ada baranglah. Walaupun, menurutku mahalnya kebangetan, suka ngeri kalau nemenin Mas Dharma masuk ke toko ini. Auto nyebut lihat harganya.
Seorang pramuniaga menghampiri kami dan menanyakan jenis jas apa yang dicari oleh Pak Galih. "Formal, selain warna hitam."
Aku langsung nyeletuk, "Navi." Pak Galih memandangiku. Aku jadi salah tingkah. "Bapak bagus kalau pakai warna navi," tambahku sambil cengengesan.
Pak Galih tersenyum sambil mengangguk, "Navi," katanya pada Mas-Mas Pramuniaga, lalu menatap padaku lagi, "Navi," ulangnya, seperti meyakinkanku kalau dia pasti akan beli warna itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pesona Rasa (OPEN PO)
ChickLitProses Penerbitan Aku undang kalian untuk melihat kehidupan Renata Dwita (22) yang berkutat antara skripsi, Caca (sang keponakan), Mas Dharma (duda ganteng sekaligus sang kakak ipar), dan Pak Galih (dosen pembimbing skripsi yang rewelnya nggak karu...