7. Rasanya Memang Begitu

32.5K 4.6K 207
                                    

Makasih buat vote dan komennya. Yuk, mainkan!!!!

Aku sudah tiga hari mendekam di rumah sakit. Dan selama tiga hari pula, aku sama sekali nggak keramas. Gimana mau keramas, wong nyentuh air saja rasanya malas setengah mati. Membersihkan badan juga cuma dilap-lap doang pakai air hangat dan sedikit sabun. Itu saja yang mengerjakan mama.

Duh, sudah tiga hari dan badanku juga belum membaik. Masih lemes. Padahal aku sudah mengusahakan untuk minum air putih sebanyak-banyaknya. Hampir mirip sapi gelonggongan nih.

Kugaruk kulit kepalaku yang gatal. Ampun deh, rambut juga lepek amat. Mau keramas pakai dry shampoo nggak cocok. Mau keramas pakai air, magernya setengah mati. Maunya apa, Ren? Pulang. Keramas di salon, kalau perlu creambath sekalian.

Aduh!!! Kulit kepalaku rasanya benar-benar gatal. Nggak ada jalan lain deh, harus beneran keramas pakai dry shampoo, minimal buat ngilangin minyak berlebihnya dulu.

"Mas, tolog cariin dry shampooku dong!" Mas Dharma menyimpan ponsel yang sedang dia mainkan, lalu membongkar lemari kecil tempat penyimpanan di samping ranjangku.

"Nggak ada," katanya setelah beberapa saat mencari.

"Masa sih? Kayaknya tadi Mama bawa." Tadi, mama bahkan sempat menawariku untuk keramas dengan dry shampoo itu, tapi kutolak karena malas. Mas Dharma mencari sekali lagi.

"Nggak ada tuh." Dia berdiri. Aku cemberut. "Kenapa?"

"Kulit kepalaku gatal banget," keluhku.

"Mau keramas? Memangnya kamu cocok pakai dry shampoo?"

"Nggak cocok sih, tapi gatal. Lepek. Bau."

"Kerannya bisa disetel air panas 'kan?" Aku mengangguk. "Mau keramas di kamar mandi saja?" tawarnya.

"Mager," kataku.

"Memangnya betah?"

Aku menghela nafas. "Nggak juga."

"Keramas di watafel saja, biar aku bantu." Mas Dharma menawarkan diri. Aku berpikir sejenak. Kalau nggak keramas sekarang, terus gimana? Rambutku sudah jijik banget. Rasanya kayak ada seribu serangga yang buat koloni di kepalaku.

"Oke deh," kataku pada akhirnya.

Mas Dharma membantuku membawa tiang infus saat kami berjalan menuju kamar mandi. "Masih lemes?" tangannya yang bebas menjaga tubuhku agar tidak terjatuh.

"Banget. Padahal aku sudah banyak minum. Makannya juga nggak rewel." Aku menghela nafas lagi. "Ingin pulang. Kangen Caca."

Mas Dharma mengusap punggungku pelan. "Sabar!" Dia membuka pintu kamar mandi, kemudian mengarahkan langkah kami menuju wastafel.

"Mas, kayaknya kerannya nggak bisa diatur suhunya." Aku menunjuk keran wastafel yang cuma satu. Mas Dharma maju untuk mengecek, dan hasilnya nihil. "Terus gimana?"

"Pakai shower mau?" Mas Dharma menuntunku untuk duduk di atas toilet. Dia kemudian menutupi tubuhku dengan sebuah handuk besar. "Biar nggak basah," katanya saat melihat tatapan bertanyaku. "Mau sambil duduk atau berdiri?"

"Berdiri sajalah, biar lebih gampang." Mau bilang ribet, tapi nggak tega lihat wajahnya Mas Dharma. Dia capek-capek begitu masih mau bantuin aku keramas.

Aku merapatkan handuk, kemudian membunguk agar Mas Dharma bisa membasahi rambutku. Jari-jari Mas Dharma masuk ke sela-sela rambut dan memijat kepalaku pelan. Ya Allah, rasanya enak banget. Sumpah!!! Kepalaku yang tadinya nyut-nyutan langsung berasa segeran.

Pesona Rasa (OPEN PO)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang