Suara dari ketukan pintu membuat tangis Dinda mereda. Dia memasukkan buku kecilnya dan bolpoinnya ke sakunya. Dia langsung mengusap usap mata dan pipinya agar tidak terlihat seperti orang menangis.
"Apakah ada orang disini?" tanya orang tersebut. Dinda memberdirikan tubuhnya. Dia mengusap usap bajunya yang agak sedikit kotor. "Tolong, ada orang kan di kamar mandi ini. Buka pintunya please. Saya takut sekarang," ujar orang tersebut dengan nada getar.
Dinda memegang kenop pintu. Lalu, menariknya ke bawah hingga pintu pun terbuka. Diluar, ada seorang gadis bermata sipit yang masih mengangkat tangannya. Tiba tiba ia tersenyum hingga matanya tambah menyipit lagi. Dinda buru buru pergi dari kamar mandi itu, namun langkahnya terhenti karena panggilan dari gadis itu.
"Hey," panggil gadis itu. Dinda pun berbalik. "Oh, Dinda tho. Dari kelas 7C," ujar gadis tersebut lagi. Dinda menyipitkan matanya, dari mana gadis itu mengenal dirinya. "Ya Alloh lupa ya sama aku," ujar gadis tersebut lalu melangkah maju, yang rupanya Linda.
"Eng-gak kok, hehehe," kata Dinda salah tingkah.
"Beneran."
"Beneran."
"Tapi, tadi kok langsung nyelonong mau keluar aja. Enggak nyapa."
"Biasa kan aku lupaan," ujar Dinda tersenyum penuh arti. Linda melangkah maju hingga berada di depan Dinda. Ia memegang pipi Dinda yang sepertinya sembap. Mata Dinda membelalak kaget. Sementara, Linda hanya tersenyum.
"Kenapa kau nangis?" tanya Linda lalu menepiskan tangannya. Dinda bungkam. Dia menahan kata katanya. "Cerita sajalah tidak apa apa," kata Linda seraya tersenyum pada Dinda. Ia memegang pundak Dinda, "Bukannya selama ini kau sudah cerita banyak padaku."
Dinda mendongak, menatap Linda yang menatapnya lembut. Dia tersenyum suram, tanpa ia sadari ia mengeluarkan air mata yang sedari tadi ia tahan. Linda mengusap air mata Dinda, lalu menarik pergelangan tangannya.
Mereka duduk di sebuah tempat duduk berkeramik didepan kelas. Dihadapan mereka bukan taman melainkan jejeran kelas 9. Kelas yang berada di belakang mereka adalah kelas 9H yang sedang melaksanakan belajar mengajar. Memang, untuk kelas 9 dijejer dengan kelas 9 lainnya, tidak seperti kelas 8 dan 7 yang berada di pinggir dan ditengah adalah taman, lapangan basket, lapangan sepak bola, musala, dan halaman untuk upacara.
Dinda nampak tertunduk lesu. Kedua tangannya saling meremas remas. Linda bingung harus mengatakan apa? Padahal, dia tadi sangat ingin bertanya dengan Dinda tentang di kamar mandi tadi. Dia bingung, apakah dia bisa menanyakannya saat ini? Tapi, bukankah Dinda masih tertunduk lesu seperti itu. Pasti kejadian yang dialami Dinda menyakiti perasaannya hingga ia tertunduk seperti ini.
"Dinda." panggil Linda lembut. Tidak mau menyakitinya. Dinda pun mendongak.
"Kenapa?"
"Kamu sakit?"
"Enggak."
"Lalu."
"Lalu, enggak tahu," kata Dinda sambil tersenyum. Memperlihatkan sederet gigi putihnya.
"Kamu sedih?" tanya Linda. Dinda kembali tertunduk.
"Maaf."
"Kenapa?"
"Kamu sedih karena kata kataku?"
"Enggak."
"Kenapa nunduk?"
Dinda pun langsung mendongak. "Kan Pak Presiden enggak ngelarang," ujar Dinda sambil tersenyum lebar. Linda pun tersenyum lalu menyenggol lengan Dinda sambil tertawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐆adis Penyendiri [✓]
Teen Fiction[ Complete ] [] 𝘍𝘳𝘪𝘦𝘯𝘥𝘴𝘩𝘪𝘱 𝘴𝘵𝘰𝘳𝘪𝘦𝘴 [] ✎ Dinda Farihattus Najwa, seorang siswi berumur 13 tahun yang bersekolah di sebuah Mts yang jauh dari rumahnya. Awalnya, saat dia masuk di dalam Mts tersebut semua baik baik saja. Namun, karena...