Chap - 3 - Ayah

197 14 0
                                    

Langit mulai berwarna hitam kehitaman. Awan awan mulai menghilang, menyisakan bintang gemintang. Bintang bintang yang membuat langit berwarna. Dan juga, bulan purnama yang menyinari langit malam. Bulan purnama yang sangat cerah berwarna kuning muda yang cerah.

Dinda tengah duduk di teras rumahnya. Teras Rumahnya agak tinggi, hingga kakinya bisa terjuntai. Dia menatap langit malam, yang di sinari oleh rembulan. Merenungkan semua yang telah dialaminya menjadi satu.

Satu persatu masalah mulai menghilang. Dia menunduk, menghela nafasnya. Lalu menatap ke arah langit langit. Dia membayangkan sesosok gadis bermata sipit yang membantunya tadi. Membantunya dari amukan marah Dehya. Mengajaknya mengobrol, dan lain lain.

Dia sangat ingin berteman dengan gadis itu. Tapi, mungkin saja gadis tersebut tidak mau bereteman dengannya. Linda, dia terus menghafalkan namanya. Berusaha setekad mungkin besok untuk mengajaknya berteman. Tapi, mungkin itu hanyalah khayalannya saja. Dia menghela nafasnya. Mengapa hidupnya berubah seperti ini?

Seseorang tengah mengendap endap keluar dari pintu. Saat tahu dia sudah dekat, dia langsung menepuk pundak Dinda dan mengkagetkannya. Dinda kaget bukan main, dia memegangi dadanya. Berharap jantungnya tidak copot. Sementara, si pelaku malah tertawa.

"Ish, kakak ini ngagetin aja," ngambek Dinda. Dahinya berkerut, bibirnya melengkung kebawah, dan tatapannya ke depan.

"Biarin, Pak Jokowi aja enggak ngelarang," kata kakaknya cekikikan. Dia memegangi pundak Dinda yang masih marah padanya.

"Ihh, mbak Salwa pergi sana," kata Dinda judes. Tangannya terlipat di dada, bibirnya melengkung ke bawah. Salwa Fahdila Hilda, menghela nafasnya. Adik keponakannya memang merepotkan.

Benar, Salwa hanyalah kakak keponakan Dinda. Dia sudah yatim piatu karena orang tuanya meninggal karena kecelakaan. Menyisakan dia sendirian yang masih balita. Sekarang, dia hidup bersama Dinda dan Ayahnya. Ibu Dinda sudah meninggal juga karena kecelakaan.

"Jangan marah marah adik sayang," kata Salwa. Dinda melihat Salwa dengan perasaan jijik. Dia jijik dengan kata kata seperti itu.

"Lihat apa Din?" tanya Salwa. Dahinya mengkerut, saat adiknya terus saja menatap langit. Dia juga melihat langit, yang berhiaskan bulan purnama yang cerah. Menghiasi langit.

"Mbak Sal, aku pengin punya teman yang baik," kata Dinda tanpa memalingkan wajahnya. Salwa menoleh pada Dinda. Dahinya mengkerut. Memangnya, adik keponakannya ini tidak punya teman?

"Memangnya kau tidak punya teman?" tanya Salwa. Dinda menggelengkan kepalanya. Dia tetap melihat langit. "Kau tidak punya teman?" tanya Salwa sedikit berteriak. Dia keget karena adik keponakannya tidak mempunya teman.

"Aku sama sekali tidak punya teman. Semua teman-temanku di kelas membenciku," jelas Dinda dengan senyum suram.

Salwa tahu perasaan Dinda, dia sedih karena Dinda tidak memiliki teman sama sekali. Padahal dulu semasa MI, banyak teman-temannya. Dulu saat kerja kelompok, banyak teman-temannya yang ikut. Saat itu, ada senda tawa diantara mereka candaan, gurauan, dan lain lain.

Tapi, sekarang dia sering mendapati adik keponakannya itu mengerjakan tugas sendiri. Menulis, menggaris, dan lain lain. Dia pernah bertanya, apakah tidak ada yang berkelompok dengannya? Setelah itu, Dinda langsung menggelengkan kepalanya. Dia bilang anak di sekolahnya ganjil. Hingga dia memutuskan untuk bekerja sendirian.

Salwa menghela nafasnya, dia tidak tahu apa yang terjadi dengan adiknya? Mengapa adiknya tidak bisa berteman lagi? Apa yang terjadi di sekolahnya, hingga dia seperti ini? Bully? Penyendiri? Digosipkan oleh teman temannya?

"Kak, aku ingin punya teman," kata Dinda. Dia menoleh pada Salwa, menatapnya dengan sendu. "Aku tidak ingin sendiri terus," kata Dinda. Perlahan, air matanya mulai mengalir. Dengan cepat Salwa mengusap air mata adiknya.

𝐆adis Penyendiri [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang