Chap - 20 - Skors

64 8 2
                                    

Gumpalan awan awan hitam menghiasi langit. Membuat hawa yang biasanya panas menjadi dingin. Hujan pun datang dari langit. Membuat semua yang ada di bumi basah oleh airnya. Gemuruh petir yang menggelegar juga membuat suasana hujan menjadi lebih menakutkan.

"Kamu itu ya! Sukanya kok buat masalah mulu?! Tante terlantarkan kamu nanti!!" teriak seorang wanita paruh baya sambil memegang sebuah berkas dokumen. Lalu, meremasnya lamat lamat.

Sementara, seorang gadis dengan rambut panjang yang menutupi wajahnya hanya tertunduk. Badannya getar getar menahan ketakutan. "Ma-af tan-te. Aku ti-dak a-kan melakukannya lagi," ujar gadis tersebut tergagap.

"Maaf mulu!" teriak wanita paruh baya tersebut. Lalu, melempar berkas dokumen yang dia remas tadi. "Sampai kamu bikin masalah lagi disekolah. Tante enggak akan segan segan masukin kamu ke panti lagi!" teriak wanita paruh baya tersebut. Gadis tersebut hanya diam tiba tiba plak! Sebuah tamparan keras mengenai pipi gadis tersebut. Gadis tersebut hanya merintih sakit sambil memegangi pipinya.

Gadis tersebut adalah Dehya. Dehya yang membuli Dinda hingga dia diskors. Dan sekarang, dia harus menghadapi kekerasan dari tantenya yang merawatnya. Karena, selama ini Dehya tidak punya orang tua. Saat masih kecil, ayah Dehya menderita penyakit paru paru hingga meninggal. Lalu, ibunya hanya sendirian merawatnya. Dia tidak bisa merawat Dehya sendirian, membuat Dehya kecil tersebut ditelantarkan di panti asuhan.

"A-a-ku akan lebih baik tan-te," ucap Dehya tercekat.

"Kalau kau berbuat masalah lagi? Tante benar benar akan menelantarkanmu mengerti," ancam wanita paruh baya tersebut.

"I-i-y-a tante," ucap Dehya tercekat. Dia tidak berani menatap raut kebencian dari tantenya yang bernama Rita.

"Mengerti?!" ancam Tante Rita sambil memukul pipi Dehya. "Heh mengerti enggak?!" teriak Tante Rita lagi lalu memukul mukul pipi Dehya sampai keluar darahnya.

"Sakit tan-te," ujar Dehya sambil memegangi pipinya. Perlahan, air matanya luluh. Dia sakit menghadapi hidupnya yang seperti ini.

"Sakit hah!! Makanya, sekolah itu buat belajar bukan buat buli. Ngerti enggak!!" teriak Tante Rita lagi.

Dia mengangkat tangannya untuk menampar Dehya. Namun, seseorang menahannya, "Ibu, hentikan!" Rita dan Dehya menoleh pada Rivan-kedua pertama Rita yang sudah berumur 17 tahun. Dia menurunkan tangan ibunya dengan lembut. Lalu, menatap ibunya sedih, "Ibu jangan perlakukan Dehya seperti itu. Dia pasti tertekan."

"Iya, iya, Van, lihat ibu mengelus ngelus rambutnya sekarang," ujar Rita tersenyum pada anaknya seraya mengelus elus puncak kepala Dehya.

"Aku tahu kok ibu tadi mukul dia," ujar Rivan dengan tatapan dingin.

Rita segera merangkul lengan Riva, "Eh, eh, sudah sudah. Ngomong ngomong mau makan apa? Ibu akan buatkan makanan untuk anakku yang paling ganteng ini." Setelah itu, ibu dan anak tersebut melangkah menuju ke ruang tengah.

Dehya mematung di tempatnya. Lalu, mengacak acak rambut panjangnya karena kesal. Setelah itu, dia berjalan menuju ruang tengah. Di ruang tengah Rita seperti membuatkan makanan yang baunya sangat melezatkan. Tiba tiba perut Dehya berbunyi nyaring. Dehya memegang perutnya, "Lapar." Dia langsung menggeleng gelengkan kepalanya. 'Kamu saya hukum enggak boleh makan selama seminggu. Jika mau, beli saja sendiri.'

Dehya menundukkan kepalanya. Sedih. Itu yang dia rasakan. Setelah itu, dia berjalan menuju kamarnya. Ingin mengerjakan beberapa tugas dari Bu Fahza semasa diskors. Kamarnya sangat kecil. Disana hanya ada kasur tidak berseprai yang kecil dengan bantal, guling, dan selimut tipis yang dilipat. Di sebelahnya beberapa rak berwarna merah yang dia gunakan untuk menaruh pakaian disana dan buku mapel.

Tiba tiba perutnya berbunyi keras. Dehya memegangi perutnya. Sudah 2 hari dia tidak makan. Dia langsung menggelengkan kepalanya. Ini hukumannya jadi dia harus menjalaninya. Dia bediri menuju tasnya. Lalu, mengambil sebuah kertas. Kertas tersebut berisi soal soal yang harus dikerjakan selama menjalani masa skors. Dia mengambil lepaknya yang ada di tas. Lalu, mulai mengerjakan soal soal tersebut.

1 jam kemudian, Dehya malah merenung sambil memandang atap atap. Kepalanya berada di atas kertas tersebut. Matanya menerawang. Jarinya ia ketuk ketukkan di kertas.

Tiba tiba dia terbangun. Dia seperti memikirkan ide cemerlang. Dengan secepat kilat dia langsung mengambil tasnya. Mengeluarkan buku lalu menyobek kertas bagian tengah. Setelah itu, dia kembali ke kasur lalu menuliskan sesuatu disana.

Seseorang membuka pintu membuat Dehya terperanjat kaget. Revan tersenyum hingga gigi putihnya kelihatan. "Kamu udah salat belum? Kalau belum ayo jamaah," ujar Revan seraya tersenyum pada Dehya.

Dehya langsung terperanjat kaget. "Oh, oh, ya. Salat Ashar. Aduh, sekarang jam berapa?" tanya Dehya namun tangannya masih sibuk mencari rukuh di rak.

"Sekarang jam-" ucapan Rivan terpotong karena Dehya langsung berlari keluar kamar. Rivan melihat ke belakang. Lantas tersenyum lebar, "Dasar anak itu." Tiba tiba dia melihat suatu kertas kecil. Perlahan, dia mendekati kertas itu. Lalu dia baca. Selesai membaca Rivan tersenyum, "Linda?"

• • •

Dehya sedang menulis kertas yang masih belum dia selesaikan tadi. Setelah itu, dia lipat lipat kertas itu hingga kecil. Lalu, memasukkannya ke lepaknya. Setelah skors, dia bertekad untuk menyerahkan surat tersebut pada Linda.

Perutnya berbunyi nyaring. Menyuruh Dehya untuk mengisinya. Dehya memegangi perutnya. Lapar. Itulah yang dia rasakan. Dia berdiri. Lalu, perlahan membuka pintu kamarnya. Di luar, tampak bau sedap dari makanan yang dibuat Tante Rita. Dia ingin memakan masakan itu walaupun sedikit. Tapi, bukannya Tante Rita menghukumnya untuk tidak makan selama seminggu? Ini baru 2 hari.

Dehya pun akhirnya melangkah masuk ke ruang tengah. Disana ada Revan, Maya, dan juga Om Tiro yang masih menggunakan baju kerjanya.

"Eh, Dehya, kemari," ujar Revan tersenyum lebar seraya mengibas ngibaskan tangannya, menyuruhnya untuk ke ruang makan.

Semua menoleh pada Dehya. Om Tiro dan Maya menatap tidak suka pada Dehya lalu melanjutkan makannya. Saat akan hendak melangkah, tiba tiba Tante Rita menarik tangannya keluar dari ruang tengah. "Mau kenapa kamu?!" sentak Rita.

"Aku lapar Tan," ujar Dehya sambil memegang perutnya.

Tiba tiba plak! Tamparan keras mengenai pipi Dehya. Dehya memegangi pipinya, dan menatap Rita sedih. "Tante udah bilang apa?! Gak boleh makan selama seminggu. Ini baru 2 hari!" sentak Rita dengan sorot penuh kemarahan.

"Tapi aku benar benar-" kata kata Dehya terpotong saat Rita menamparnya lagi hingga pipinya berdarah. "Makanya cari uang sana!! Gak ngerti apa rasanya nyari uang?! Mau Tante terlantarkan?!" teriak Rita.

Air mata Dehya luluh. Dia tidak berani menatap wajah Tante Rita. Dia hanya melirik sekilas lalu melangkah masuk kedalam kamarnya lagi.


𝐆adis Penyendiri [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang