Chap - 17 - Berkunjung

62 10 1
                                    

Hari Minggu adalah hari yang paling dinantikan oleh semua orang. Mereka bisa memenigkan kepala mereka dengan libur kerja maupun sekolah. Mereka bisa berkumpul dengan keluarga mereka, istirahat, dan berlibur. Semua menyukai hari Minggu, namun tidak bagi Dinda yang sedang mengerjakan soal terkutuk matematika.

Tinggal beberapa hari lagi Dinda akan ujian semester 1. Di saat saat itu, Dinda berusaha belajar dengan rajin. Dia belajar tanpa waktu hingga lupa akan salat, dan selalu begadang semalaman membuat dia diceramahi habis habisan oleh Kak Salwa. Namun, dia tidak peduli akan hal itu. Dia tetap gigih untuk belajar demi masa depan yang baginya lebih baik.

"Dinda," panggil seseorang dari pintu. Dinda menoleh dan menyengir. Dia melihat raut datar dari kakaknya tersebut. Setelah ini, dia pasti akan dinasehati habis habisan.

"Hehe, ada apa Kak?" tanya Dinda nyengir.

Salwa masuk kedalam kamar adiknya lalu melihat buku adiknya itu. Salwa menyipitkan matanya saat tahu itu adalah soal matematika. "Ya Allah, Din, mau banget sih kamu ini ngerjain soal yang langsung buat kakak pusing," ujar Salwa ketus.

Dinda menyengir. Memang, dia benar benar membenci matematika. Namun, jika hal itu terus berjalan dia malah bodoh dan tidak bisa mengerjakannya. Jadi, walaupun dia membenci matematika. Dia harus bisa mengerjakan semua soalnya. Walaupun, kadang dia pusing memikirkannya.

"Kan ujiannya minggu depan Kak. Kakak ini gimana sih? Enggak nyiapin apapun?" omel Dinda. Salwa langsung menjewer telinga adik keponakan yang kurang ajar ini. "Aduh, Kak, sakit lo," teriak Dinda.

Salwa melepas tangannya yang menjewer telinga Dinda. Bibir Dinda mengerucut. Dia memegangi telinganya. "Oh, dasar adik kurang ajar. Mau kakak apain hah!" bentak Salwa, menatap Dinda tajam.

"Sabar Kak. Sabar," ujarnya sambil nyengir.

"Hari ini tuh hari Minggu. Kok kamu malah buka buku matimatian yang mungkin tidak ketemu ujungnya," ujar Salwa sambil geleng geleng kepala. Tiba tiba dia melempar handuk yang ia bawa. "Cepat mandi, setelah ini kita akan pergi ke pemakaman". Setelah itu, Salwa membuka pintu dan melangkah keluar.

Dinda memakai kerudung segi empat berwarna coklat keemasan dengan motif garis garis. Ditambah dengan dress panjang berwarna coklat biasa menambah kesan pas dengan kerudungnya. Dia keluar dari kamar dan melangkah menuju ruang tamu.

"Sudah siap. Ayo kita ke mobil," ujar Rafi seraya tersenyum pada Dinda dan Salwa. Lalu, mereka melangkah menuju garasi. Di dalam mobil hening. Tidak ada yang bicara sama sekali. Kecuali, lagu Harusnya Aku dari Armada yang mengalun. Salwa yang memainkan ponselnya. Dan Rafi yang fokus pada jalanan.

Dinda menatap keluar. Pemandangan sawah sawah sangat indah. Di tambah dengan Gunung Kelud yang menambah keindahan sawah tersebut. Langit biru cerah namun terik ditambah dengan awan awan yang menghiasi langit. Para petani yang sedang bekerja disana seperti tidak kepanasan terkena teriknya matahari.

Rafi menghentikan mobilnya. Lalu, menatap kearah pemakaman. Mereka pun turun dam melangkah masuk kedalam pemakaman. Dinda masuk dengan perasaan hampa. Sudah lama, dia tidak datang ke pemakaman ibunya. Mereka melangkah hingga sampai di samping makam yang bertuliskan 'Nabila Diasatul Fauza, lahir : 22 Maret 1984, wafat : 7 Agustus 2015.

Dinda menyentuh batu nisan tersebut. Dia benar benar rindu dengan ibunya. Ibunya yang selalu tersenyum. Menyayanginya dengan penuh kasih. Bahkan, sebelum meninggal, sebelum alat detak jantung menampilkan garis lurus, ibunya masih tersenyum menatapnya, setelah itu dia meninggal.


Rafi hanya bisa menghembuskan nafas pelan. Lalu menyentuh pundak Dinda, "Kita do'a dulu ya Din". Rafi membuka buku Yasin, lalu mereka pun berdo'a dengan khidmat. Setelah membaca do'a do'a, Dinda menaburkan bunga diatas tanahnya. Dinda tersenyum miris, dia hanya bisa berdo'a jika ibunya baik baik disana.

"Bu, baik baik ya disana," ujar Dinda tersenyum miris seraya memegang batu nisan ibunya. "Besok, kita ketemu lagi ya Bu. Besok di surga," ujarnya lagi. Rafi dan Salwa yang melihat itu merasa iba.

Setelah itu, Rafi langsung memeluk Dinda erat. "Iya, Din, besok kita ketemu ibu lagi," ujar Rafi pelan. Rafi mendongak menatap Salwa. Dia mengibas ngibaskan tangannya menyuruh Salwa untuk memeluknya juga. Salwa pun berdiri lalu berjalan berada di samping Dinda. Dia juga memeluk gadis tersebut. Ada sesuatu yang menghangat dari dirinya.

"Sal, mau ngasih bunganya di batu nisannya Ayah dan Ibumu?" tanya Rafi melepas pelukannya. Salwa mengangguk, lalu mereka mulai berjalan ke pemakaman Ayah dan Ibu Salwa. Saat sampai, Salwa duduk disamping batu nisan Ayah dan Ibunya. Dia lalu menaburkan bunga bunga diatasnya. Setelah itu, dia memegang batu nisan Ayahnya lalu menghembuskan nafas pelan.

"Enggak apa apa Kak," ujar Dinda seraya tersenyum miris pada Salwa. Salwa menoleh lalu tersenyum miris pula.

"Baiklah, ayo kita pulang," ujar Rafi sambil berdiri. Salwa dan Dinda juga berdiri, lalu mereka mulai melangkah keluar.

• • •

Linda tengah membantu ibunya yang sedang berjualan. Fitri mempunyai warung mie ayam, di depan rumahnya. Walaupun hanya di depan rumah, jualannya sangat laris. Kata orang orang mie ayamnya sangat enak. Hingga, banyak orang yang datang kesana.

Menjelang sore, jualan mie ayam Fitri sudah habis tidak bersisa. Linda mengambil piring piring kotor yang ada di meja. Dia lalu melangkah ke tempat cucian dan mencucinya. Fitri yang melihat itu menyuggingkan senyumnya. Dia bersyukur anaknya mau membantunya berjualan.

"Aduh, bu, udah selesai?" tanya Linda lalu menyeka keringatnya di dahi.

Fitri tersenyum, "Iya Nak. Sudah kok. Habis ini tutupan ya."

Linda menghela nafas lega. Akhirnya, setelah ini dia akan beristirahat. Namun, dia harus membantu ibunya terlebih dahulu untuk menutup warung.

"Bu, ada mie ayam sedikit enggak?" tanya Linda.

Fitri mengangguk, "Ada sedikit kok."

"Aku mau," ujar Linda terdengar manja. "Bisa ibu masakin enggak?" pintanya manja.

Fitri menyunggingkan senyum ramahnya. Dia pun berjalan lagi ke gerobak, lalu mulai memasakkan mie untuk anaknya. Linda menatap punggung ibunya. Dia menghembuskan nafasnya pelan. Lalu, beranjak dari kursinya dan membantu ibunya membuat mie.

"Kamu duduk aja Lin," ujar Fitri lembut. Namun, Linda menggelengkan kepalanya. Dia masih membantu ibunya memasak mie.

Setelah jadi, Fitri membawa semangkuk berisi mie ayam tersebut di meja. Linda langsung duduk lalu berdo'a dan langsung melahap mie ayam kesukaannya. Fitri duduk di hadapannya. Tangannya ia tumpukan di dagu. Menatap anaknya yang sedang memakan mie ayam dengan lahap.

"Ibu mau," ujar Linda sembari menyodorkan mie ayamnya. Fitri tersenyum seraya menggeleng. "Ya sudah," ujar Linda lalu melahap mie ayamnya lagi.

"Din, kamu bahagia enggak?" tanya Fitri seraya menatap Linda sendu.

Linda mendongak. Dahinya berkerut. "Kenapa Ibu tanya?" tanya Linda.

Fitri menggeleng, "Ya, semenjak Ayahmu bercerai dengan Ibu kan. Kita jadi miskin saja."

Linda yang menyadari hal itu lantas tersenyum. "Ibu enggak usah tanya aku bahagia. Jelas aku bahagia banget sama ibu. Walaupun, kehidupan kita sederhana," kata Linda seraya tersenyum ramah pada ibunya.

Fitri tersenyum ramah pada anaknya. Dia tidak menyangka anaknya akan berbicara seperti ini padanya. "Kamu enggak kangen Ayah?" tanya Fitri.

Linda menghentikan aktivitas melahap makanannya. Dia mendongak. Apa dia harus jujur? "Ya, gitulah, bu, aku memang rindu Ayah. Tapi, mau gimana lagi?" ujar Linda seraya memakan mie nya lagi. "Sudah bu," ujar Linda seraya mengusap mulutnya menggunakan tisu.

"Taruh di cucian!" ujar Fitri lembut. Linda pun segera berdiri lalu berjalan menuju cucian. Setelah, itu mencuci mangkok yang digunakannya makan tadi. Setelah itu, Linda membantu Fitri untuk menutup warung karena hari menjelang sore.

𝐆adis Penyendiri [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang