[3] Tiga : Paksaan

3.1K 127 6
                                    

3. Paksaan

Pada akhirnya, Riko memang selalu saja bisa membuatku terpaksa. Sekarang, di sinilah aku. Berada di dalam mobilnya.

Ketika di sampingnya kali ini, pikiranku teringat kejadian di Bandara. Riko berpelukan dengan wanita lain. Aku juga sempat melihat mereka saling mencium pipi. Apa maksudnya itu kalau bukan sesuatu yang bisa disebut perselingkuhan. Otakku tak bisa berpikir positif, toh yang kutahu dia tidak memiliki kerabat perempuan seumurannya. Siapapun dari pihak keluarga, tidak ada. Atau mungkin hanya sebatas teman? Kalaupun iya tentu itu menyakitiku. Aku melihat senyum bahagia dari raut wajah seorang Riko kala itu, dan itu seperti kerinduan yang besar baginya. Sangat sukses melukai hatiku.

Berbulan-bulan sebelumnya kami memang tengah menjalani hubungan jarak jauh. Aku menahan rindu yang besar untuknya. Hari itu, aku Benar-benar sangat ingin memeluknya, mencium aroma tubuhnya, tapi apa yang mataku dapat meruntuhkan niat begitu saja. Aku sangat kaget dan terpukul. Rasanya tak sangka, aku jadi ingin marah, memukul sesuatu dengan keras. Menangis semalaman di dalam kamar saja tak cukup. Riko adalah pria yang sangat kusayangi. Aku tak mudah untuk bisa dekat dengan seorang lawan jenis begitu saja. Riko adalah pria kedua yang aku cintai setelah ayahku. Aku benar-benar mencintai keduanya. Tapi kejadian itu, rasanya begitu mudah sekali membuatku kecewa dan tersakiti. Sebab tak ada jejak sedikit pun selama kebersamaan hubungan kami aku melihat ia dekat dengan wanita lain. Tidak. Tidak pernah. Namun, ya, hari itu aku melihatnya langsung. Satu hari kejutan pahit yang kuterima darinya.

Sisi lain, aku khawatir bagaimana aku akan bekerja hari ini. Begitu melankolis sekali. Lemah lesu hanya karena perihal cinta. Perasaanku mungkin tampak berlebihan, tapi untuk orang-orang perasa seperti diriku, hal kecil atau besar sekali pun akan membuatku seperti ini. Terkadang terjadi dengan sendirinya, mau berusaha sekuat apa pun kalau pikiran tak bisa berhenti memikirkan masalah itu, mau bagaimana lagi. Sulit bagiku mengontrol diri. Tapi aku tidak bisa memungkiri juga bahwa Riko memang penyebabnya. Luka itu masih terasa, bahkan hingga detik ini.

Kini aku benci walau hanya melihat wajahnya. Suaranya tak lagi menjadi sesuatu yang kurindukan.

Riko ....

Bagaimana mungkin semudah itu kamu hancurkan perasaan tulusku. Aku yang sangat mencintaimu, kini tak lagi sama. Aku membencimu!

"Maaf ...."

Aku tak berniat untuk menoleh ke arahnya. Entahlah meskipun untuk sekadar mendengar penuturan atau penjelasan. Pada intinya aku belum merasa waktu yang tepat untuk melihat sosoknya. Tapi dia tidak ingin tahu dan mengerti. Pandanganku saat ini lurus tertuju ke luar jendela kaca. Menikmati laju jalanan yang kutatap dengan kekosongan.

"Dia bukan siapa-siapa aku. Sungguh."

Cuih.

Menyebalkan sekali.

Ia pikir aku buta?! Aku melihat sentuhan berlebih itu.

"Dia cuma sekadar teman dekat. Kalau kamu nggak percaya, aku bisa meneleponnya sekarang."

"Telepon. Aku tunggu," tantangku masih dalam posisi duduk miring membelakanginya.

Rasakan saja. Aku yakin aku baru saja membuatnya skakmat. Ia mungkin lupa atau tak tahu. Aku bukan wanita baik yang mudah percaya, mudah menerima sesuatu begitu saja di luar keinginanku, ataupun dengan mudah memaafkan. Kalau menurutku salah ya sudah, reaksiku akan membencinya.

Luka [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang