17. Terbuka
Waktu sudah menunjukkan lebih dari pukul sebelas malam.
Kami, ah, maksudku aku dan Reza masih sama-sama terjaga.
Rasanya sangat lain. Aku seperti tidur dengan orang asing. Sedari tadi kami mengobrol ala kadarnya, lalu berujung dengan sama-sama diam, beberapa menit sampai akhirnya Reza memulainya lagi. Begitu berulang-ulang dengan pandangan yang sama menatap langit-langit kamar. Atau sesekali Reza melirikku lalu menyunggingkan senyumnya. Hal yang membuatku mencari getar dalam hati, namun rupanya aku sama sekali tak menemukannya. Degup itu kerap kurasakan ketika ia menyentuhku saja. Entahlah, aku sendiri bingung.
Di sela kalimat-kalimat Reza, aku sendiri berusaha memutar balik pertanyaan kepadanya. Beberapa obrolan-obrolan kecil yang sampai akhirnya membuat ia bercerita tentang dirinya sendiri. Seperti saat ini.
"Percaya atau tidak. Saya adalah orang yang cukup introvert. Dari kecil ... sampai sekarang." Reza melirikku yang kebetulan mataku sedang tertuju kepadanya. Pria itu kemudian meringis seraya tersenyum. Bohong jika aku berkata bahwa senyumnya biasa saja. Di saat ia menarik kedua sudut bibir itu, aku yakin semua wanita akan tertarik kepadanya. Pahatan wajah yang sempurna.
Reza kembali melihat ke atas dengan posisi tangan yang melipat di bawah kepalanya. Ia selalu terlihat santai.
"Itu yang membuatmu memilih menikah di usia sekarang?"
Pertanyaanku barusan membuatnya menoleh lagi. Pria itu terlihat seperti tengah berpikir. "Apakah saya terlalu tua untuk kamu, Mit? Tapi dugaan kamu barusan, salah. Saya pernah beberapa kali membawa seorang wanita ke rumah untuk dikenalkan kepada ibu. Saya tidak pernah berpacaran. Saya mendekati seseorang secara diam-diam. Tanpa validasi, karena pasangan adalah privasi, saya jelas saya selalu membawa ke rumah untuk dikenalkan kepada ibu."
"Lalu?" tanyaku menunggunya ketika Reza terdiam begitu saja.
"Lalu, ibu selalu mengatakan setuju."
Reza diam lagi seraya menatapku. Seketika aku merasa kesal karena kalimatnya terpotong-potong. "Lalu bagaimana lagi?"
"Lalu beberapa hari kemudian, saya menjauhi wanita itu."
Keningku mengerut.
Reza kemudian melanjutkan. "Karena saya merasa, tidak ada yang spesial setiap saya menjalani kedekatan dengan siapa pun. Sebanyak apa pun saya merayunya, memujinya, berusaha melakukan yang terbaik, selalu berujung bahwa saya tidak mendapatkan ketenangan yang saya cari. Saya akui. Saya mungkin tipikal orang yang susah mencintai. Bahkan sebelumnya saya sempat berpikir untuk tidak menikah saja. Namun, ya ... saya tidak bisa mengubah, bahwa di dunia ini membutuhkan cinta. Seperti rasa cinta saya kepada ibu atau keluarga saya. Itu kebutuhan dan menjadi bagian penting karena manusia tidak ada yang bisa hidup sendirian. Setidaknya memerlukan satu orang terdekat yang memahami dan menghargai, hidup dan mau berkembang sama-sama."
Dari sekian kalimatnya, aku malah salah fokus dengan penuturannya yang sempat mengatakan bahwa dia tipikal orang yang susah mencintai? Apakah iya? Tapi aku ingat dia sudah beberapa kali mengatakan cinta kepadaku.
"Kamu beneran termasuk orang yang sulit mencintai?" tanyaku penasaran.
Reza mengangguk. Jawabannya membuatku sekatika ragu dengan perasaannya. Maksudku aku ingin sekali memastikan, bagaimana bisa dia survive dengan hatinya yang pernah tertarik kepadaku lalu waktu yang cukup lama kemudian dia akhirnya mendapatiku. Itu cinta ataukah apa? Mengapa dia menerimaku.
"Kamu tidak bertanya kenapa saya pernah mengatakan cinta kepada kamu? Kamu tidak ingin tahu saya berkata jujur atau tidak?" ucap Reza membuatku tersentak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka [End]
RomantiekKupikir, Riko adalah orang yang tepat untukku. Kami sudah menjalin hubungan hampir tiga tahun. Akan tetapi, waktu bukanlah penentu. Selama apa pun sebuah hubungan jika Tuhan berkata tidak maka aku tidak bisa mengelak. Semua bermula setelah satu kefa...