21. Terjebak
Kepalaku terasa kurang enak. Melenguh pelan dan membuka mata. Atap-atap langit kamar apartemen adalah objek pertama yang kulihat.
"Mas Reza," panggilku lirih.
Sesaat terdiam. Aku tak mendapat sahutan dari orang yang kupanggil. Menengok ke arah kiri yang kosong, tak ada suamiku di sana. Apa sekarang masih belum jadwalnya pulang? Memangnya jam berapa sekarang?
Jam alarm berada di samping kananku. Saat menoleh, bukannya melihat benda itu justru mataku mendapati sosok Riko yang tengah menempatkan dagunya di atas ranjang. Duduk di bawah dan melipat kedua tangan dengan fokus mata tertuju kepadaku.
"Kamu! Ngapain kamu di sini?" Aku lalu beranjak bangun dan terduduk, memelototi pria itu dengan napas tak beraturan. Cemas aku melihat tubuhku, merasakan pakaian masih utuh tanpa terbuka sedikit pun. Di posisi seperti ini aku bahkan sempat-sempatnya berpikir yang tidak-tidak. Iyah, karena aku berpikir Riko akhir-akhir ini yang sering mengejutkan dan nekat.
"Mas Reza ...." Aku meringis memanggil nama itu.
"Mas ... Reza. Huh. Menggelikan. Wuek." Riko berbicara seolah meledek. Lidahnya bisa-bisanya sampai menjulur, aku melihat itu dan merasa muak sekaligus benci.
"Mau apa sih, kamu?!"
"Hm? Kenapa? Aku nggak apa-apa. Dari tadi cuma liatin kamu di sini. Kamunya tidur lagi, dong."
"Beraninya kamu. Keluar sekarang juga!"
"Oh, Sayang. Kamu jadi banyak galaknya ya sekarang-sekarang."
"Aku benci kamu Riko! Gak sudi liat kamu lagi. Pergi dan jangan ganggu hidupku!"
"Ssssst. Aku nggak mendengarnya."
"RIKO PERGI!"
"Gamau."
"PERGI, GAK?!"
"DIAM ATAU AKU SEBARKAN INI?!!" Riko berdiri dan berteriak seraya mengangkat layar ponselnya yang menunjukkan foto diriku tengah tertidur bersamanya.
Kelopak mataku melebar mengetahui itu. Napasku dibuat tak tenang sekali lagi karena ulahnya yang gila. Sudah kepalaku yang sakit, sekarang dibuat emosi. Kesabaranku semakin diuji olehnya. Aku turun dari ranjang dan merebut ponsel itu, tetapi sayangnya tidak berhasil karena pria itu lebih dulu memasukkannya ke dalam saku celana.
"Silakan ambil."
Aku geram dan tak peduli langsung menarik bajunya.
"Ow! Kamu berani sekali. Tapi nggak nggak. Setooop. Aku nggak bisa berbaik hati dulu, Sayang. Maafkan aku, ya." Riko menahan tubuhnya dan memberi jarak.
"Duduklah," ujarnya sok lembut. Aku memalingkan wajahku, muak.
"Aku bilang duduk dulu." Lima detik, aku mengabaikan pria itu. Sampai akhirnya kemudian ia berteriak, "Duduk atau kukirim foto kebersamaanku denganmu ke suamimu sekarang juga? Aku nggak main-main, Mitha!" tegasnya penuh penekanan yang sukses membuatku takut. Perlahan, mau tak mau aku menurutinya. Duduk di ranjang disusuli pria itu di sampingku. Aku bergeser memberi jarak. Aku tak tahu harus melakukan apa. Sulit sekali mengeluarkan makhluk ini.
"Entah apa yang membuatku tergila-gila sama kamu, Mit. Aku benar-benar masih mencintaimu. Aku nggak bisa jauh-jauh dari kamu. Aku nggak bisa liat kamu dengan pria lain."
Tangan Riko meraih rambutku lalu menyelipkannya ke telinga. Kepalaku bergerak, berusaha menolak. Sikapku sudah sama sekali tidak merespon perbuatannya, mataku tertuju lurus tanpa berniat melihat sosoknya.
"Kamu masih saja suka memaksa dan egois," ucapku.
"Karena aku menyayangimu, tulus. Kamu tahu, Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan, kan? Apa salahnya aku mengejar pasanganku?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka [End]
RomanceKupikir, Riko adalah orang yang tepat untukku. Kami sudah menjalin hubungan hampir tiga tahun. Akan tetapi, waktu bukanlah penentu. Selama apa pun sebuah hubungan jika Tuhan berkata tidak maka aku tidak bisa mengelak. Semua bermula setelah satu kefa...