1. Hancur, Lebur
Jika orang lain menyebut hari ini adalah hari terindah. Aku tidak setuju!
Untukku, ini adalah detik di mana sebuah luka menyambut paksa. Lututku melemas. Air mata tak bisa kubendung lagi saat yang tengah kutatap beberapa detik sudah ini, kini membuatku terasa hancur lebur.
Riko pembohong!
Pengkhianat!
Kata-kata manisnya terakhir kali, berhasil membuatku menyerahkan segalanya; kepercayaan, perasaan, semuanya!
Namun, apa yang kulihat hari ini? Bukankah beberapa menit yang lalu dia memintaku untuk menyambut kedatangannya di Bandara? Lalu apa itu?
Pelukan?
Sayang?
Kekasih?
Aku mendengar semuanya. Dia tidak bisa mengelak lagi. Satu hari ini penghancur waktu dua tahun lebih yang usai kulewatkan bersamanya. Aku tak tahan lagi.
"PENGHIANAT!!!" teriakku tak peduli dengan sekitar.
Riko terkejut. Dia melepas pelukannya dengan wanita asing itu.
"Mit-Mitha?"
Napasku memburu. Degup jantungku tak lagi kunikmati. Sungguh, rasanya sesuatu yang berat berhasil menusuk jantungku. Mataku perih. Kecewa, aku sangat kecewa.
"MIT, TUNGGU!!"
Tak peduli teriakan itu, kulangkahkan kaki secepat mungkin untuk menjauhinya. Deru air mata sedari tadi merepotkan. Namun, harus bagaimana lagi, hati memang tidak bisa berbohong. Aku menjadi lemah saat ini.
"Pak, jalan." Usai naik ke mobil kusuruh Pak Toni, sopirku, untuk segera melajukannya.
Riko berteriak bertepatan mobilku yang sudah melaju. Aku tidak berniat untuk memutar kepala hanya sekadar melihat wajahnya yang sempat kurindukan. Kali ini, aku muak. Aku tidak ingin bertemu dengannya lagi.
****
"Mitha Sayang, ada apa, Nak? Kenapa buru-buru seperti itu?"
Kuabaikan suara Ibu yang bertanya. Sekarang fokusku adalah kamar. Aku ingin segera meluapkan semuanya.
"Mit! Hey! Ada apa? Di mana Riko? Bukannya kamu bilang--"
"RIKO SUDAH MATI!" jawabku sembarang sembari terus menghentakkan kaki, berjalan menaiki tangga untuk menuju kamarku. Aku tak peduli lagi. Aku tidak ingin membahas Riko.
"Hah? A-apa? Kamu ini jangan ngasal. Riko sudah kembali ke Indonesia, 'kan?"
Aku tak menghiraukan Ibu. Kulangkahkan kaki secepat mungkin.
"Ya Allah, innalillahi ...."
Entahlah ada apa dengan Ibu. Ia seperti menganggap ucapanku serius saja. Tapi sekali lagi, terserah, aku memang tidak peduli lagi dengan Riko. Syukur saja kalau pria itu benar-benar mati!
Brak!
Kututup pintu sekeras-kerasnya. Kemudian, kuhamburkan tubuh ini ke kasur.
Oh, ya Tuhan ....
Kenapa Engkau berikan rasa sesak terberat yang pernah kurasa.
Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka [End]
RomanceKupikir, Riko adalah orang yang tepat untukku. Kami sudah menjalin hubungan hampir tiga tahun. Akan tetapi, waktu bukanlah penentu. Selama apa pun sebuah hubungan jika Tuhan berkata tidak maka aku tidak bisa mengelak. Semua bermula setelah satu kefa...