[6] Enam : Mengundurkan Diri

2.1K 81 1
                                    

6. Mengundurkan Diri.

Ibu menghela napas panjang. Perlahan, ia melepas tanganku dari tubuhnya. Perasaanku dipenuhi rasa cemas seketika. Aku sampai setakut ini akan penolakan Ibu.

"Kalau kamu sama papa kamu sudah iya, ibu nggak bisa apa-apa."

Dahiku mengernyit. "Maksud Ibu?"

"Ya. Papa pasti nggak berbohong juga dengan penuturannya. Ibu percaya banget sama papa, meskipun rasanya nggak percaya Riko ternyata orang jahat. Tapi melihatmu yang menangis, dan penuturan ayah yang mengatakan sudah tahu sejak lama, rasanya lebih baik kamu jauh-jauh saja dari Riko. Ibu nggak bakalan bisa setuju kamu menikah gitu aja selain karena papa sudah menyiapkannya. Dan ya, Pa, kita perlu ngobrol panjang lebar."

"Nggak-nggak. Aku nggak mau kalau Ibu asal setuju aja kalau dalam hati ibu ada perasaan terpaksa. Aku tahu ridho Ibu itu yang utama. Aku membutuhkannya."

"Yang jelas, ibu hanya ingin yang terbaik sama kamu. Asal keinginanmu benar-benar untuk serius, dan tidak menyimpan perasaan dendam kepada orang lain, ibu menyetujuinya. Ibu masih akan mengawasimu. Papa sudah lebih dulu membuat keputusan. Tapi tunggu sampai ibu nilai juga pria kenalan Papa."

"Itu yang saya tunggu. Kalian kapan bertanya mengenai orangnya?" ucap Ayah kemudian.

Aku dan Ibu kompak menatap ayah. Degup jantungku tiba-tiba saja bertambah kecepatan detaknya. Aku tak menyangka mendapatkan detik yang rasanya aneh seperti ini. Tentang hal yang tak terduga, terjadi di waktu sekarang.

Ini menuju tentang pria asing.

Ya. Orang baru.

"Kasih tahu kami sekarang aja, Pa. Pria mana yang berhasil meyakinkan Papa sejak lama sampai saat ini? Ibu biasanya nggak meragukan setiap apa pun pilihan Papa. Sekarang Ibu sangat penasaran. Dia siapa, anak dari siapa, tinggal di mana, sejak kapan Papa mengenalinya, dia punya kelebihan apa?"

"Wait wait. Sebelum itu ... saya ingin memeluk kalian dulu. Sekali lagi saya minta maaf ya sudah melakukan hal yang ternyata sangat mengecewakan kalian." Ayah berdiri dan langsung memeluk kami berdua. Mencium kening Ibu dan aku bergantian. "Kirana, maafkan suamimu ini. Ke depannya saya akan berusaha untuk selalu melakukan kerja sama lebih sempurna lagi dengan partner hidup saya, kamu."

"Hm, iyaa. Usap dulu tuh air mata putrimu. Dia nggak berhenti nangis."

"Oh, iya. Mitha, Nak, maafin ayah, ya? Semoga kamu paham kenapa ayah ngelakuin ini."

"Ayah nyebelin! Tapi ayah yang terbaik ...." Aku cemberut lalu berujung memeluk ayah juga. Sampai akhirnya ia menarik tubuh ibu lagi, dan kami berpelukan bersama.

Cukup senang sekali merasakan momen kehangatan seperti ini. Orang tuaku adalah separuh nyawaku. Mereka kehangatan dalam hidupku. Selalu saja menunjukkan perasaan sayangnya dengan tak terkecuali. Selalu melakukan apa pun yang terbaik untuk putri satu-satunya mereka.

"Sekarang katakan. Siapa pria yang sudah disiapkan ayah dari lama? Memangnya, dia masih sendiri? Mau sama aku?" ucapku kemudian dengan lebih dulu mengakhiri pelukan.

"Hm ...."

"Kasih tahu Ibu dulu, Pa," ucap Ibu pelan.

Luka [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang