13. Proses
Kupikir begitu menyenangkan bisa mengenal seorang Reza Mahardika. Menurutku ia sosok yang rendah hati. Kalian tahu, kan, orang yang rendah hati itu sebenarnya lebih tinggi daripada orang yang ramah. Kenapa? Sebab yang ramah mungkin sudah terlihat jelas baik di luar, tetapi belum tentu di dalam. Sedang yang rendah hati, luar dalam sudah lebih baik.
Semoga aku tidak gegabah atau salah menilainya.
Entahlah, tetapi perlakuan Reza seolah mengutamakan dan menghargai diriku. Untuk awal berkenalan memang umumnya semua memperlihatkan hal-hal baik tentang dirinya, akan tetapi caraku melihat adalah dari inisiatif, ketulusan, dan cara menghargai. Aku melihat satu per satu dari seorang Reza. Bahkan saat mencoba deeptalk dengannya aku cukup merasa nyambung. Begitupun aku berulang kali terkagum dengan jawaban-jawabannya yang di atas pengetahuanku. Kekaguman sedikit demi sedikit membuat aku menambah keyakinan. Aku mencoba mengesampingkan apa yang dia miliki selain sifat dan mindsetnya. Kurasa dia bahkan lebih pintar. Dia bisa membuat kesimpulan. Diskusi. Mengutarakan pendapat dengan baik. Solusi, juga pilihan yang bagus.
Awalnya kita bertukar nomor ponsel, lalu sepakat agar besok kita akan menghabiskan waktu bersama. Secepat itu? Iya. Dia bahkan meminta izin kepadaku agar dia bisa cuti beberapa hari dari pekerjaannya dan meminta waktuku. Awalnya aku sempat berpikir, kita masih bisa berkenalan di waktu senggang, tetapi dia memilih menyiapkan waktu sebaik mungkin agar kami berkenalan satu sama lain dan lebih akrab.
Memintaku untuk sudah merapikan diri pada pukul enam pagi. Kita hanya akan bepergian tetapi harus sepagi itu? Entahlah, aku turuti saja keinginannya dan tidak membuatnya menunggu karena bahkan dia sudah tiba di rumah pada pukul enam kurang sepuluh menit. Untungnya aku sudah siap dan saat itu juga langsung pergi bersamanya. Kurasa dia terlalu semangat. Namun, dia justru memenuhi egoku. Mengatakan bahwa aku cukup bisa mengimbanginya soal waktu. Padahal yang kulakukan hanya sesuai kesepakatan saja, tidak lebih.
Pertama, dia mengajakku datang ke sekolahan anak SD. Jujur ini direncanakannya tiba-tiba. Sebelumnya kita sepakat hanya akan banyak menghabiskan waktu di luar, aku jadi menyesal menyarankan ini, terlihat seperti pemikiranku yang dangkal. Aku tidak tahu maksudnya mengajak pergi ke sekolah. Akan tetapi, di sana dia mengobrol dengan kepala sekolah dan para guru. Mudah baginya terlihat akrab, berbeda saat pertama bersamaku, cukup banyak diam dan pemalu. Kemudian mengajakku mendampinginya tampil di depan kelas. Menonton dia yang sedang memberikan ilmu basic kepada anak-anak. Mengajar soal attitude, cara berhitung cepat, bercerita, dan lain-lain. Bukannya membantu aku malah diam-diam menjadi muridnya yang menyimak lalu bertepuk tangan seperti orang bodoh.
"Mau bertukar?"
"Hah?"
"Giliran."
"Aku? Mengajar anak-anak?"
"Heem. Kalau mau."
"Aku ajarin matematika juga?"
"Bebas kok apa saja yang kamu mau."
Dia sedang mengetesku atau bagaimana? Ah proses pendekatan yang cukup menguji. Aku akhirnya memberanikan diri melangkah mengganti posisinya. Kamu tahu bagaimana aku, di sana? Tanpa persiapan sedikit pun? Apalagi aku bukan orang yang ahli dan good public speaking.
"Mereka adalah teman-temanmu. Ini adalah rumah," bisik Reza mendekatiku, caranya barusan adalah memberi kekuatan yang baik.
Aku tersenyum percaya diri lalu mulai mengulas senyum di depan anak-anak kelas tiga SD.
"Hai, semuanya! Sebelumnya sudah perkenalan diri, ya. Nama kakak siapa? Ada yang masih ingat?" ucapku sok ramah memulai percakapan.
"Kakak Mitha."
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka [End]
RomanceKupikir, Riko adalah orang yang tepat untukku. Kami sudah menjalin hubungan hampir tiga tahun. Akan tetapi, waktu bukanlah penentu. Selama apa pun sebuah hubungan jika Tuhan berkata tidak maka aku tidak bisa mengelak. Semua bermula setelah satu kefa...