2. Riko
"Kamu sudah berani berbohong ke Ibu, Mit? Ibu khawatir kemarin. Riko sudah datang dengan selamat. Kamu ini kenapa? Dan sekarang, matamu itu ya ampun ... kayak orang yang nggak tidur semalaman aja. Oh, atau emang kamu nggak tidur? Ngomong dong, Mit. Kenapa kamu diam aja? Ibu sedari tadi--"
"Bu, bagaimana anakmu mau berbicara kalau sedari tadi kamu terus yang berbicara panjang lebar?" Ayah menimpali suara Ibu.
Otakku jengah saat ini. Aku sedang tidak bernafsu melakukan apa pun, bahkan sekadar mendengar suara cerewet Ibu atau memakan makanan yang ada di atas meja saat ini.
Semalaman aku memang tidak bisa tidur. Jadi pagi ini, keadaanku mungkin berantakan. Jika saja hari ini bukan hari Senin mungkin aku sudah berdiam diri di kamar semakin lama.
"Aku sudah selesai," ucapku sembari berdiri. Kuambil tas kerjaku di atas meja, lantas tanpa menyalami tangan Ayah dan Ibu aku langsung saja pergi.
"Hey, sejak kapan jadi--"
"Assalaamu'alaikum."
Kakiku berhenti melangkah. Mataku menemukan sosok Riko berada tak jauh di hadapanku. Lancang sekali pria itu. Memang, di rumah ini tidak ada siapa pun lagi selain aku dan kedua orang tuaku. Tidak ada satu pun asisten rumah tangga. Hanya Pak Toni sebagai sopir rumah. Sebelumnya, Riko memang diberikan kebebasan masuk oleh Ibu, aku yang kerap mengabaikan suara bel rumah sedangkan posisi Ibu bisa di mana-mana; dapur, kamar mandi, belakang rumah, jadi katanya takut tak sengaja tak terdengar, untuk Riko ia diizinkan langsung menghampiri siapa pun di dalam rumah ini. Itu berjalan dengan baik bersama keakraban kami saat itu. Tapi hari ini posisinya kacau, jadi ulahnya itu membuatku jengkel. Aku sedang tak ingin bertemu dengannya.
"Waalaikumussalam. Eh Nak Riko. Wah wah ... rindu sekali Ibu. Kemarin sore ngobrolnya sebentar banget, ya. Sini dulu ayo, Nak. Sarapan bareng."
Ibu ngapain sih sok lembut dan ramah sama Riko. Ah, ia tak tahu aku sedang ada masalah dengannya.
"Permisi ya, Tante. Maaf Riko langsung masuk. Riko mau menjemput Mitha."
"Nggak! Kali ini aku gak mau bareng sama kamu," balasku tegas. Dengan wajah marah sesuai perasaanku. Detik selanjutnya kemudian kulangkahkan kaki untuk melewatinya.
"Mitha sebentar. Aku kan——"
"Pergi, deh!"
Semakin cepat langkah kakiku, lalu mengedarkan pandangan untuk mencari mobil yang biasanya Pak Toni sudah stand bye menungguku, tetapi kali ini justru tidak ada.
"Pak Toni! Mobilnya ke mana? Saya mau berangkat sekarang!" teriakku. Entah ke mana sosoknya menghilang tanpa pemberitahuan, seperti bukan sifat Pak Tony saja.
"Aku yang sengaja nyuruh Pak Toni buat nggak nganterin kamu. Aku datang ke sini untuk kamu, Mit. "
Kupejamkan mata dengan rasa muak yang mencekam dada. Rasanya tak berselera mendengar suara pria itu. Bisakah Riko enyah sekarang juga?
"Nak Riko ...."
"Eh, Tante. Tante maaf sekali saya harus langsung pamit. Saya akan nganterin Mitha."
"Buru-buru banget ya kalian. Nggak mau makan dulu? Tadi Mitha juga sedikit banget lho makannya. Mitha, ayo makan lagi. Masih lama jam biasanya kamu berangkat."
"Enggak Bu, Mitha lagi enggak selera, aku pergi sekarang, ya." Kulangkahkan kaki untuk pergi saat itu juga. Sekali lagi, tanpa sadar aku mengabaikan siapa pun di dekatku dengan langsung meninggalkannya.
"Mitha, tunggu! Tante saya susul Mitha, ya. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam. Ck. Ada apalah ... dengan kalian."
Bersambung ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Luka [End]
RomanceKupikir, Riko adalah orang yang tepat untukku. Kami sudah menjalin hubungan hampir tiga tahun. Akan tetapi, waktu bukanlah penentu. Selama apa pun sebuah hubungan jika Tuhan berkata tidak maka aku tidak bisa mengelak. Semua bermula setelah satu kefa...