♠
H A P P Y R E A D I N G
♠
Lelaki yang berusia kurang lebih delapan belas tahun itu terbangun dari tidur yang sangat tidak menyenangkan. Ia terbangun karena terpaksa. Gemuruh suara dari luar bangunan yang tak terlalu mewah itu membuat telinganya menuli seketika.
Ia berdecak. Kakinya ia turunkan satu persatu dari ranjang dan berusaha mencari sepasang sandal jepit yang seingatnya ia letakkan di bawah ranjang. Tangannya bergerak ke arah nakas mencari kacamata hitam untuk membantunya melihat lebih jelas dunia.
Ia memandangi wekker berwarna biru langit yang terletak di samping ia menemukan kacamatanya. Ada pertanyaan yang tiba-tiba membuat otaknya berpikir keras. Bagaimana waktu bisa berputar secepat itu?
Hans mencoba untuk meraih jam wekker itu. Tetapi, ia urungkan sebab keributan di luar terlalu membuat kepalanya naik darah. Siapa yang tidak kesal, diteriknya panas matahari di siang hari, seharusnya tidur siang adalah cara yang tepat untuk mempersingkat waktu. Nyatanya 'mereka' sama sekali tak membuat kenyamanan.
"Hei, kalian!" Hans menyela disela-sela kedua bocah laki-laki yang sedang berebut sesuatu.
Dua bocah itu terdiam. Menatap wajah Hans yang menautkan sesosok orang yang sedang marah tanpa berkedip. Hingga terlihat salah satu diantaranya tubuhnya bergetar.
"Kau tahu? Kau telah mengganggu tidur siangku!" bentak Hans. Lagi-lagi membuat bocah kecil itu tersentak kaget. Wajah-wajah memerah terlihat jelas. Dalam hitungan detik saja, mungkin ia akan menangis.
"Maafkan aku," ucap salah satu bocah dengan kedua telapak dirapalkan membentuk simbol permohonan maaf.
Hans menarik napas gusar. Ia memutar bola matanya. Sebenarnya ia ingin sekali memarahi mereka berdua. Tetapi, melihat keadaan mereka yang sepertinya ketakutan membuatnya tidak tega.
"Baiklah." Hans menyerah. "Sebenarnya apa yang sedang terjadi pada kalian?" Hans mencoba menghakimi keduanya.
"Ray ...." Bocah yang sedari tadi berani berbicara menunjuk ke arah lawan bicaranya. Mulai menjelaskan inti permasalahan.
"Tu-tuan. Se-sebaiknya aku harus segera kembali. Ibu pasti sedang mencariku," potong tiba-tiba oleh bocah yang dipanggil Ray itu.
"Siapa namamu?"
"Seygan."
"Jadi?" Hans mempertanyakan apa yang terjadi di antara keduanya dengan sesabar mungkin. Walau ini sebenarnya adalah hal yang hanya membuang-buang waktu saja, mengingat sebentar lagi adalah waktunya untuk dirinya pergi kuliah.
Ray menunduk dengan tubuh gemetaran, terlihat gusar. Tiada ketenangan. Sesekali melirik ke arah jalanan seperti sedang mencari sesuatu.
"Sey, maafkan aku. Aku tak ingin terikat masalah denganmu," ucapnya kalut.
"Kau telah menuduh ayahku melakukan apa yang sebenarnya tidak dilakukannya!"
"Tapi ... tapi aku melihat dengan mata kepalaku sendiri." Ray masih tertunduk, dengan raut wajah yang masih ketakutan. Dari yang Hans lihat, bocah yang kiranya berumur sepuluh tahunan itu adalah anak yang jujur.
Hans mendekati keduanya dan meraih kedua tangan mereka. "Katakan maaf." Hans membuat kedua bocah itu berjabat.
Ray menurut. Sedangkan lawan bicaranya itu dengan keras kepala tak mau menuruti perintah Hans. "Seygan, ayolah. Kau telah membuang banyak waktuku," geram Hans melihat sifat ke kanak-kanakan dari mereka. Itu pun menjadi alasan mengapa sampai saat ini juga Hans tak menyukai anak kecil. Para 'mereka' sangat sulit untuk diatur. Tentunya karena Hans lebih menyukai kehidupan orang dewasa. Berpikir jauh dari logika. Dan memikirkan hal-hal yang tidak semestinya dipertanyakan. Terutama tentang waktu.
♠
Hans berlari melewati koridor kampus dengan cepat. Sesekali ia melirik jam berwarna hitam mengkilap yang melingkar sempurna di pergelangan tangan kirinya. Hanya gara-gara dua anak kecil yang memperdebatkan sesuatu itu membuat ia harus terlambat beberapa menit di jam maga kuliah pertama.
Percuma saja. Siapa yang peduli dengan lelaki yang datang terlambat hanya karena mengurusi anak kecil yang tak tahu akar permasalahannya. Menjelaskan pada dosen hanya akan membuat dirinya ditertawakan. Sepertinya, bolos adalah cara terakhir yang paling aman.
Hans memilih duduk di bangku taman. Berharap waktu segera berputar dengan cepat. Pikirannya benar-benar tak terisi, hingga entah apa yang membuatnya melepas jam tangannya dan memandangi putaran jarum yang membuat otaknya bekerja memecah logika orang waras.
Jemarinya mengepal. Kemudian meluruskannya satu persatu seperti menghitung jari bersamaan dengan jarum jam yang berputar ke kanan.
Setelah hitungan pengulangan sudah memenuhi angka enam puluh kali. Hans memutar kunci jarum hingga membuatnya dipercepat hingga sangat cepat.
Apa yang akan terjadi jika bumi berputar lebih dari kecepatan yang ada?
"Hei, Hans! "
Shit!
Jantung Hans berdetak tak keruan. Terkejut. Ditambah lagi pukulan keras di bahu, sungguh malang nasibnya kali ini.
Hans mendongak. Terdengar tawa renyah menggema dari sosok pelaku yang tak lain adalah, Emily.
"Sudah kuduga. Kau pasti ada di sini! Haha." Emily bergerak mengitari bangku panjang yang di duduki Hans dan duduk di samping lelaki itu.
"Bagaimana kau tahu?"
"Mudah. Aku mengenali dirimu melebihi kekasihmu, Hans!"
Kekasih? Agaknya kata-kata itu lebih merujuk pada sebuah ejekan. Bagaimana tidak, semua orang yang mengenali Hans tentu tahu jika lelaki itu tak pernah dekat dengan seorang gadis, kecuali dia yang sedang duduk bersamanya.
"Bisa kutebak! Kau membolos, 'kan?"
Emily tersenyum simpul. Hans bukanlah orang yang pandai mengartikan ekspresi. Bagaimana jika senyum itu ternyata memiliki arti tertentu?
"Bagaimana dengan kantin?"
"Aha!" Emily menerima tawaran Hans dengan suka cita. Keduanya berdiri bersama dengan senyum yang tak kunjung memudar. Dan tanpa disadari, tangannya saling terikat.
Jangan berpikir terlalu berlebihan. Mereka adalah teman sejak lama, jadi jangan heran jika terlihat sangat dekat.
Hans dan Emily beranjak menjauh menuju kantin. Ada hal yang lagi-lagi tak disadari Hans. Ia melupakan benda yang selalu menjadi imajinasinya, tentang putaran waktu, tentang bumi dan gerakannya.
♠
Detakannya belum terhenti. Bahkan semakin berlalu cepat. Kakek bilang, "berhati-hatilah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Earth [E N D]
Science Fiction[TYPO Mohon maaf] Misi balas dendam seorang penguasa kota, harus berimbas pada kehidupan empat remaja yang bernaung di bawah sebuah misi yang dititipkan mendiang kakek si peramal tentang keajaiban waktu dari Clock Wizzard Museum. Sebuah ancaman bes...