LE -7-

164 11 0
                                    

Suara ketukan dari luar terdengar menggema. Di antara beberapa orang yang berada di rumah Hans, agaknya hanya Willy yang sudah terbangun. Ia beranjak dari sofa dengan mata yang masih remang untuk dapat melihat sekeliling. Di depannya Emily tertidur dengan posisi duduk, tapi di mana Kenn?

Beberapa detik ia mengumpulkan semua nyawanya, ia berdiri dan berjalan menuju pintu utama.
"Ada yang perlu saya bantu, Tuan?" tanya Willy ramah. Sesekali ia menguap, ternyata tidur lebih awal pun tidak membuat seseorang mengusaikan kantuknya.

"Ada titipan surat dari ...." Lelaki paruh baya itu membaca nama pengirim, namun nampaknya tak tertulis di sana. "Pengirim tidak tertulis di sini," ucap Pak Pos itu sembari mendongak menatap Willy lurus pada bola matanya.

"Untuk Hans EM," tambahnya.

"Tentu, akan kusampaikan padanya. Terima kasih, Pak," ujar Willy sopan.

Pak Pos mengangguk sembari tersenyum. Ia bergerak menuju sepeda ontelnya. "Sampai jumpa," ucap Pak Pos mengakhiri pertemuannya. Ia mengayuh sepeda hingga tak terasa hilang diterkam jarak dan tikungan.

Willy menatap surat itu nanar. Surat apakah itu? Willy berbalik dan masuk ke dalam kembali untuk menemui Hans tanpa ingin tahu menahu soal surat pos itu.

Emily mengusap matanya. Ia mencari-cari jam dinding atau apapun yang bisa membuatnya tahu pukul berapakah sekarang? Tentu tak biasanya ia bangun lebih dari pukul tujuh. Anehnya, ia tahu jika Hans dan kakeknya mengoleksi jam, namun tak sama sekali terlihat ada benda dengan jarum jamnya.

Matanya menangkap sosok Willy yang datang dari luar membawa sepucuk surat. "Kau sudah bangun?"

"Belum, aku masih tertidur dan bermimpi mendapat titipan surat dari Pak Pos," ucapnya membuat kelakar untuk pagi yang semoga saja lebih baik.

"Ya ...." Emily tertawa. Ia tahu Willy yang mungkin bisa dikatakan memiliki selera humor yang cukup tinggi.

Willy tersenyum. Ia kembali menyadari tak adanya kehadiran Kenn di sana. Di mana dia sebenarnya?

"Di mana Kenn?"

"Aku tidak melihatnya sejak malam tadi," balas Emily apa adanya.

"Surat?" tambah Emily.

"Surat cinta untuk Tuan Hans EM!" Willy tertawa. Lagi-lagi ia membuat Emily hanya tertawa renyah. Memang aneh.

"Aku akan mengantarnya untuk Hans."

Emily mengangguk seperginya Willy. Ia pun bergegas ke kamar mandi untuk cuci muka dan bersih-bersih.

Ketika orang-orang di sekeliling Hans mengira Hans dengan semudah itu terlelap, nyatanya tidak. Lelaki itu sibuk mempermainkan wekker sembari terus berpikir; di mana Ray? Bagaimana dia bisa lenyap dengan tiba-tiba.

Ia memposisikan tidurnya menatap jendela dan ia baru saja menyadari jika ternyata sudah pagi. Semalaman ini ternyata ia tidak dapat tidur, hanya terus berpikir entah kemana. Bahkan ia tak menghiraukan teman-temannya berbuat apapun di rumahnya. Mengetahui mereka masih di rumahnya atau tidak ia pun tak tahu. Teman macam apa dia sebenarnya?

Semalaman ini tidak tidur, itu artinya ia tak bermimpi dan menemukan jawaban dari semuanya.

Tok! Tok!

Ia tersadar kala ketukan daun pintu memecah lamunannya. Ia tak dama sekali bergerak, hanya sedikit melirik ke arah pintu yang berada di belakangnya.

Cukup lama ia tak menggubris orang di balik pintu itu, namun sepertinya orang itu tetap pada pendiriannya, tak sama sekali menyerah. Ini menganggu ketenangan Hans, dia tahu itu.

Hans lagi-lagi menaikkan kacamatanya yang merosot. Ia mengarahkan wekker-nya di atas nakas. Ia menyilakan kedua kakinya di atas ranjang. "Masuklah," ucapnya benar-benar kalut.

Tanpa banyak berpikir Willy membuka pintu kamar Hans. Ia pikir kebanyakan kamar seorang lelaki sama saja, tak ada satupun yang berbeda. Lihatlah, kamarnya cukup berantakan. Bahkan ini lebih buruk dari apa yang ia kira, melebihi kamarnya sendiri ternyata.

Kamarnya cukup luas. Dengan elemen cat putih dan penerangan yang minim, terdapat beberapa rak buku yang mengisi kehampaan ruangan, nakas kecil tanpa sofa ataupun sesuatu yang dapat digunakan untuk duduk kecuali ranjang kecil yang kini diduduki Hans dengan tenang. Wekker berwarna biru langit dan beberapa jam dengan berbagai model. Satu jendela bertirai yang agaknya tak pernah Hans gunakan tirainya, terlihat kusut.

Banyak buku-buku yang menurut Willy itu gila. Saat ia mulai mendekat pada Hans, ia tak sengaja melirik buku-buku yang berserak di rak dengan berantakan. Wonderful Dream. Entahlah.

"Kau mendapat surat pos pagi ini, kupikir ini penting." Willy menyerahkan amplop itu tepat di hadapan Hans. Hans memaku di tempat, ia terus memandangi wajah Willy bingung.

"Baiklah, terima kasih," ucapnya segera menerimanya.

Willy duduk di ranjang milik Hans, ia bingung ingin menasehati Hans bagaimana lagi, menurutnya lelaki di hadapannya itu terlalu keras kepala. Selalu saja berbuat semaunya sendiri dan tak pernah ingin menerima saran dari teman-temannya. Terus berpikir jika apa yang ia pikirkan benar. Ya, walaupun seringnya begitu, tetapi agaknya apa salahnya jika sekali saja ia menerimanya? Huh!

"Sebenarnya apa maumu?!" ucap Willy bernada tinggi. Kesabarannya sudah benar-benar habis. Apa gunanya seorang sahabat jika masalah tak terpecahkan bersama? Shiitt!

"Kau sudah gila atau bagaimana? Hah?" Willy terus menghakimi Hans yang malah hanya menatapnya penuh tanya. Terlihat sedikit kerutan kecil di keningnya, tapi itu tak mengehentikan cercaan akibat kekesalannya yang sudah mendarah daging.

"Kau tak ingat kau memiliki sahabat?! Atau mungkin memang kau tak pernah menganggap kami sahabat?!" Ucapannya terdengar sampai depan pintu kamar yang terlupa tak ditutup kembali. Apapun itu, Emily mendengar gertakan dari Willy. Jarang-jarang Willy bersikap mendesak seperti itu. Sedang Hans, ia terus berdiam diri. Membungkam tanpa ingin segera mengusaikan perdebatan di pagi ini.

Frustasi untuk kesekian kalinya Hans rasakan. Seperginya kakek, ia bahkan tak dapat berpikir dengan benar. Selalu saja melenceng bahkan membuatnya menjadi kian kacau. Ia tak bisa tenang, benar-benar akan meledak kepalanya itu.

"Terserah kau saja!" Willy berdiri dan berlalu pergi. Entah mengapa, beberapa waktu belakangan ini bertemu dengan Hans selalu membuatnya naik darah. Sungguh tak dapat dimengerti.

Hans mengikuti langkah kaki Willy. Ia baru menyadari jika Emily berada di sana entah sejak kapan. Mungkin ia juga mendengar perdebatan tanpa lawan dengan Willy tadi. Ia tak peduli.

Mereka semua pergi. Hanya ia sendiri bersama amplop putih yang tergeletak di samping tubuhnya. Tanpa banyak pikir ia membukanya.

Dia berada di tempat yang tak jauh darimu. Dia juga berhasil menemukan apa yang menjadi kunci peperangan peramal Rutherford. Jika kau yakin dengan kata misimu, maka telusuri lebih dalam sekitaran dari tempat dimana ia hilang. Dan akan kau temukan banyak jawaban dari banyak hal yang kau pertanyakan.

-Cr

"Dia berada di satu masa di mana keajaiban itu berada."

Last Earth [E N D]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang