"Kenapa kalian semua diam?" Shan menatap ketiga wanita yang bahkan membungkam seperti sedang menutupi sesuatu, hingga akhirnya ia memutuskan untuk duduk di samping Ellish.
"Oh, ayolah. Cuaca ini benar-benar membuatku mudah bosan."
Tak ada yang berani buka suara, bahkan terlihat mereka sibuk dengan urusannya masing-masing.
Paman Shan menatap satu perstu wajah orang-orang yang tiba-tiba saja terdiam. Ini terlihat aneh. Bahkan tak biasanya Bibi Ellish menyembunyikan sesuatu padanya.
"Em ... kurasa hanya itu yang ingin kami sampaikan pada Bibi, ya ... kuharap Bibi, Paman, dan Yuan bisa kembali seperti dulu lagi," ucap Emily berniat mengakhiri. Ia sendiri benar-benar bingung harus mengatakan hal apalagi.
"Paman ... aku dan Grace pamit pulang. Kami harus mengerjakan tugas. Selamat siang." Emily dan Grace beranjak. Didahului Emily di depan dan Grace tak lagi betbicara sepatah kata pun. Ia hanya menatap semuanya seolah kejadian ini adalah hal yang perlu didramakan. Terlihat sekali, tatapannya tidak terkondisikan.
♠
"Sial!" cerca Hans sembari mencoba melihat baju bagian belakangnya yang sedikit sobek. Tadi, ia mencoba menghindari mobil yang melintas di depannya yang berkecepatan tinggi. Namun, ia tak sempat melihat bahwa di sampingnya itu terdapat ranting kayu yang akhirnya sedikit merusak bajunya.
Ia menatap kesekeliling, "Tidak adakah manusia yang masih hidup di sini?"
"Hans!" lirih seseorang memanggil namanya.
Sontak ia berbalik menatap seseorang yang bari saja menyebut namanya -itupun kalau ia tak salah dengar.
Kakek?
Seketika saja, lelaki itu menampar pipinya cukup keras mendapati seseorang yang berada di depannya itu semakin berjalan mendekat. Ia tak pernah menyangka dan ia berpikir ini sebuah mimpi.
Langit meredup, semilir angin lambat menyusup sela-aela dedaunan. Beberapa daun kemerahan gugur silih lelaki itu mendekat.
"Hei, kau tak apa?"
Hans masih melongo, dan ia baru tersadar setelah seseorang di hadapannya itu menyentuh bahu Hans. Lelaki tua itu menampakan raut bertanya-tanya, senyumnya memudar berganti raut datar.
"Kau Hans? Benar?"
"Oh, hai. Ya ... aku Hans." Ia gugup dan masih terus berpikir apakah itu Kakek atau ia sedang bermimpi atau bagaimana?
"Ka ... kek?" Hans masih menunjukan raut tegang. Bertanya antara iya atau bukan. Mimpi atau nyata. Ah, gila!
"Ahaha! Kukira kau sudah lupa padaku! Atau mungkin, mataku sudah kabur. Haha!"
Dia tertawa lepas?
"Bagaimana kau ada di sini, Hans?" tanyanya girang sembari menepuk bahu Hans beberapa kali.
Salah satu alis Hans naik beberapa mili, menciptakan kerutan kecil dikeningnya. Ia mulai sedikit berpikir, mengingat siapa lelaki di hadapannya itu. Yang pasti, Kakek tak seperti itu.
"Bolehkah aku bertanya padamu?" Bukannya menjawab pertanyaannya, ia justru malah balik bertanya. Hans benar-benar tidak memperhatikan hal yang diucapkan oleh beliau tadi.
"Jawab pertanyaanku dulu," desisnya menggurui.
"Aku sedang berjalan ke rumah," ujar Hans to the point. "Sekarang aku ingin bertanya padamu, kau siapa? Oh, maksudku aku lupa tentang dirimu, jika kita pernah saling mengenal. Yang aku ingat hanya ... kau cukup mirip dengan mendiang kakekku, Rutherford(?)"
"Eum ... itu masalahmu. Aku Franklin, adik Rutherford ...."
Tepat sekali!
Hans menepuk jidatnya asal. "Oh, astaga. Bagaimana aku bisa melupakanmu? Maafkan aku, Kek."
"Aku memaklumi, kita sudah beberapa tahun tidak berjumpa. Bagaimana keluargamu?"
Hans terdiam. Ia bingung harus menjelaskannya bagaimana. Terlalu rumit. Dan jika ia mengatakannya, itu sama saja ia menghancurkan pikirannya. Sebab saat ini, ia tidak hanya memikirkan satu hal, tetapi banyak hal.
"Oh, aku ingat. Aku harus segera kembali." Ia mengendus pakaian yang ia pakai. "Lihatlah, pakaianku bahkan tak terlihat seperti pakaian orang waras. Sudah dulu ya? Atau kau ingin berkunjung ke rumahku?"
"Kau mengalihkan pembicaraan?" ucap Franklin tanpa terdengar sebuah pertanyaan. Siapa saja tahu, Hans hanyalah mengalibi.
Hans kembali terdiam. Kali ini ia menunduk. Pertanyaan tebakan Franklin tadi membuatnya meragu, ia benar-benar memilih untuk diam.
Sepertinya Franklin mulai mengerti, ia tak lagi memaksa dan benar-benar mengganti topik pembicaraan. Sesuatu seperti membisiki perihal apa yang telah terjadi.
Franklin menatap sebukit reruntuhan di tengah kota. "Aku tak habis pikir dengan cara berpikir mereka, apakah mereka sekaya itu hingga menghancurkan apa yang telah dibangun dengan ribuan dolar itu? Atau mungkin mereka ingin berubah miskin? Jika ia, mengapa mereka tak memberikannya pada mereka yang kekurangan?"
Hans menghela napas panjang. Ia mundur beberapa langkah dan mendaratkan pantatnya di trotoar jalan. Meratapi takdir yang begitu menyakitkan, bumi yang disinggahinya salam hitungan hari ke depan menjadi kota mati. Tanpa satu pun penghuni.
"Bukan itu alasannya. Balas dendam dan berniat merebut sesuatu hal luar biasa milik Rutherford, ya ... aku bahkan tak mengerti dengan apa yang mereka katakan."
Franklin menatap Hans dengan seksama, ia ikut meluruskan kakinya di sampkng tempat Hans duduk. "Sesuatu hal luar biasa katamu?"
"Terakhir yang disampaikan kakek padaku; Dunia tidak berporos pada satu kehidupan, di sana ada kehidupan lain. Orang-orang genius menciptakannya untuk memajukan tekhnologi yang ada. Mereka menciptakan ruang dan waktu yang saling memiliki keterkaitan. Memberi jalan alternatif, mempersingkat waktu tempuh, kembali ke masa lalu, atau mungkin ke masa depan. Mereka sama seperti kerikil jalanan, yang mengirikan sebuah kehebatan."
"Maksudmu mesin itu?" tanya Franklin sambil menatap Hans dalam-dalam.
Hans menoleh cepat ke arah Franklin. "Mesin katamu? Mesin apa?"
Franklin menekuk kakinya dan meluruskan tangannya di kedua lututnya.
"Mesin itu sedari Kakekmu bekerja di Museum Clock Wizzard sudah banyak diincar oleh oknum yang ingin menguasai dunia. Bahkan saat itu sampai memakan korban, salah satunya pejabat yang sejajar dengan Mac Dinston tewas dibunuhnya. Polisi angkat tangan, tak ada yang mau berani turun tangan atas kehancuran yang pernah terjadi waktu itu. Dan ... sepertinya kehancuran itu kembali terjadi, lihatlah sekarang ...." Franklin menunjuk sekitarnya dengan telapak tangannya." ... Kau tahu ini ulah siapa, kan?"
Hans mengangguk. "Tentu, dan aku sempat menjadi incaran mereka. Tapi syukurnya, aku berhasil kabur dari tangan mereka."
"Kau hebat! Terakhir, Rutherford bahkan tak mampu lepas dari tangan mereka. Hingga nyawanya melayang di tangan lelaki brengsek itu."
"Kau tak asal bicara, kan?"
"Untuk apa aku asal bicara? Kami -aku, Rutherford dan Danny - bertahun-tahun berusaha menciptakan gerbang dunia paralel. Dan ketika kami berhasil, mereka dengan seenak jidat ingin mengambil alihnya. Jika saja kau jadi kami, apa kau akan merelakannya? Tentu tidak, bukan?"
Ini kali pertama untuk Hans, mengetahui apa yang membuat orang-orang terkutuk ini ingin menghancurkan bumi. Tak habis pikir, memangmya dengan mereka menghancurkan kota akan membuat mereka memiliki benda ajaib itu dengan mudah?
"Lalu, dimana benda itu sekarang berada?"
Franklin menaikkan bahunya. "Aku tidak pernah tahu keberadaannya setelah Rutherford dikabarkan tewas."
♠
"Seharusnya mereka tahu, bukankah si peramal itu telah memberikan serangkaian teka teki menuju keajaiban itu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Earth [E N D]
Science Fiction[TYPO Mohon maaf] Misi balas dendam seorang penguasa kota, harus berimbas pada kehidupan empat remaja yang bernaung di bawah sebuah misi yang dititipkan mendiang kakek si peramal tentang keajaiban waktu dari Clock Wizzard Museum. Sebuah ancaman bes...